Lihat ke Halaman Asli

S Aji

TERVERIFIKASI

Story Collector

Modernisasi dan Orang-Orang Kecil

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Orang bekerja tidak boleh dengan kemampuan pas-pasan. Harus punya ilmu, punya kompetensi. Tanpa ilmu atau kompetensi, bekerja bisa jadi aktifitas yang mengguncang kenyamanan perut. Dengan kompetensi keilmuan yang sesuai dengan bidang kerja, urusan kenyamanan perut bukan saja bisa dijaga. Tapi juga menjaga posisi status sosial dan ekspresi gaya hidup. Demikian kira-kira meringkaskan hubungan antara bekerja dan kompetensi keilmuan dalam alam modern.


Dalam urusan kerja, manusia modern dituntut berilmu dan berprestasi agar bisa menduduki bidang kerja tertentu. Sistem meritokrasi namanya. Oleh sistem seperti ini diharapkan hanya manusia terpilih yang menjalankan pekerjaan tertentu. Demikian juga penghargaan yang diterima, akan diberikan sesuatu keahlian, jenis pekerjaan dan posisinya.


Kini ada perkara menarik nan pelik. Perkara yang datang dari pertanyaan : bagaimana merekrut tenaga supir yang terdidik/terlatih untuk membawa bus trans Jakarta yangmembutuhkan sekitar 1500 supir ?. Dinas Perhubungan DKI sudah membolehkan supir metro mini untuk mendaftar dan jika lolos seleksi mereka boleh menjalani pekerjaan ini.


Ternyata boleh tidaknya eks-supir-supir metromini menyupiri bus trans Jakarta jadi protes dari Yayasan Layanan Konsumen Indonesia (YLKI). Menurut Ketua Pengurus Harian YLKI, Sudaryatmo, supir Metro Mini itu tidak layak menjadi pengemudi Transjakarta. "Pemerintah jangan sampai mengorbankan kenyamanan dan keamanan pengguna Transjakarta," katanya seperti ditulis Koran Tempo.


Dalam berita itu juga disertai alasan :


Sudaryatmo mengatakan, niat pemerintah untuk merekrut supir Metro Mini itu sebenarnya baik. Selain itu, dari aspek kompetensi, supir tersebut bisa saja menyupiri Transjakarta jika memang dinyatakan layak. Tapi, hal itu mengandung resiko yang cukup besar terhadap penumpang moda transportasi massal pemerintah tersebut.


Menurutnya, seorang supir yang kerap ugal-ugalan tidak akan bisa dengan mudah mengubah gaya mengemudinya. Sistem penggajian yang diyakini bisa menjadi faktor pengubah disebut tidak menjamin bahwa sang supir akan mengemudikan bus secara normal. "Itu kan sifat, kalau sudah suka ugal-ugalan ya akan terus ugal-ugalan," kata dia.“Jadi, mereka berebutan penumpang. Itu yang menyebabkan ugal-ugalan, bukan karena watak dan sifat,”.... “Kalau mereka sudah memenuhi jumlah setoran, otomatis kan tidak akan ugal-ugalan, apalagi kalau sudah mendapat penghasilan tetap,” kata Herlambang seperti dimuat Koran Tempo.


Polemik ini tentu harus ditanggapi secara jernih. Jangan sampai usaha untuk modernisasi transportasi publik di Jakarta justru dibangun dengan memasang tumbal ribuan supir metromini dan menciptakan medan konflik baru diantara diantara mereka sesama supir (supir metromini versus supir trans Jakarta). Atau sebaliknya, karena sistem rekrutmen yang salah, mereka yang terpilih untuk menyupir bus trans Jakarta adalah orang-orang yang hanya 'memindahkan ubal-ugalan dan bahaya bagi keselamatan umum'.


Saya tidak terlalu tahu perkara teknisnya. Perkara teknsi seperti bagaimana menyeleksi supir-supir agar sesuatu dengan kebutuhan dan tuntutan kerja yang diminta oleh layanan sekelas trans Jakarta. Yang jadi concern disinilah polemik antara watak ugal-ugalan dalam budaya kerja metro mini versus budaya kerja trans Jakarta adalah perkara 'politis', perkara kebijakan. Jadi persoalannya adalah bagaimana pemerintah atau para pihak yang berkewenangan langsung bisa mempersiapkan sistem untuk memasukkan pelan-pelan supir-supir itu (atau kita bisa sebut representasi dari orang-orang kecil) menjalani pola kerja yang sesuai dengan tuntutan layanan publik modern.


Mempersoalkan sifat atau watak atau bahkan mentalitas yang diperhadapkan dengan sistem modern memang merupakan debat lama dalam antropologi dan sosiologi pembangunan. Misalnya saja dalam kajian-kajian bertema mentalitas dan kebudayaan modern yang pernah marak di zaman Orde Baru. Dan kita tahu, dalam pengalaman orde baru, ketegangan mentalitas dan kebudayaan modern telah membuang orang-orang kecil-kurang sekolah-tidak profesional ke pinggiran lokomotif modernitas.


Pada dasarnya modernisasi adalah proyek yang bisa diintervensi. Demikian juga dengan watak,sifat atau mentalitas yang bisa berubah ketika hidup dalam sistem yang memungkinkan manusia belajar dan berkembang. Maka itu pendidikan menjadi sistem yang harus selalu terbuka menampung orang-orang kecil dan mempersiapkan mereka memasuki sistem kerja modern.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline