Saya hendak berkisah tentang salah satu peristiwa penting dalam hidup manusia yaitu pernikahan. Pernikahan yang terjadi di sebuah desa.
Pernikahan adalah salah satu ritus suci. Setiap agama meletakkannya sebagai perjanjian nan suci antara sepasang anak manusia yang saling berkasih sayang dan memilih hidup bersama sebagai pasangan. Jadi ia bukan semata-mata ritus yang membedakan pasangan manusia dengan hewan misalnya. Tapi juga memposisikan manusia sebagai makhluk berTuhan. Olah karenanya, dalam ajaran agama, pernikahan memiliki tata caranya sendiri.
Walau begitu, sebagaimana juga jamak diketahui, pernikahan tidak semata-mata merupakan perkara agama. Pernikahan dalam dunia manusia adalah juga perkara kultural, ekonomi, dan tak jarang menjadi perkara politik. Pernikahan sebagai perkara kultural jika ia bercampur baur dengan nilai, norma dan kebiasaan lokal setempat. Sebagai perkara ekonomi, pernikahan bisa berarti penyatuan kelas-kelas ekonomi tertentu di masyarakat. Dan sebagai perkara politik, pernikahan adalah penyatuan dua kekuatan politik yang sedang berkuasa.
Demikianlah cerita singkat pernikahan ini. Dalam dunia manusia yang fana, ia bisa hadir dalam berupa-rupa wajah kultural-ekonomi-politik.
Namun bagaimanakah pernikahan atau persisnya pesta pernikahan itu berlangsung di sebuah desa yang hidup sehari-hari bergulat dengan ekonomi 'gali lubang tutup lubang' ?. Pesta pernikahan yang berlangsung pada sebuah desa yang hanya dapat dijangkau melalui jalur sungai ?, yang jalan desanya dibuat dari titian jembatan karena menghindari air sungai meluap ?, di desa yang tak ada penerangan listrik dari negara sepanjang hari ?, pesta pernikahan di desa yang sumber daya manusia lulusan SMA-nya bisa dihitung dengan jari ?.
Galinggang, Kabupaten Katingan, Propinsi Kalimantan Tengah. Di desa ini, saya menyaksikan pesta pernikahan dengan konteks ruang kultural seperti daftar pertanyaan di atas.
Di suatu siang nan terik, pesta itu digelar. Sebuah panggung sederhana dibuat di seberang titian jembatan/jalan desa. Posisinya menghadap sungai, berdiri di halam sebuah rumah. Sementara berhadapan dengan panggung itu, rumah yang halamannya disediakan tempat duduk bagi mempelai yang berbahagia.
Di atas panggung tersedia organ tunggal, pemainnya, dan artis perempuan. artis perempuan disini tentu saja artis desa, mereka disebut demikian karena memiliki suara yang lumayan, bisa menyanyi bermacam-macam lagu dangdut, tentu saja percaya diri dan bisa berdandan, dan sering diundang keliling kampung di setiap acara pernikahan. Tarifnya bermacam-macam, bisa lima ratus ribu rupiah sekali pesta atau sejuta.
Organ tunggal dan artisnya adalah pusat dari keramaian. Merekalah magnit yang menghisap perhatian, bukan saja dari dalam desa, tapi juga hingga ke desa-desa tetangga. Merekalah sumbu yang menyalakan kemeriahan pesta pernikahan.
Ketika artis-artis itu tampil, orang-orang akan berjubel. Ada yang duduk berderet di atas jembatan kayu yang menjadi jalan titian desa. Anak-anak juga tak mau ketinggalan ikut berjubel. Di rumah-rumah yang dekat dengan panggung orang-orang akan berjubel. Penting diingat jika rumah-rumah dimaksud adalah rumah panggung. Kaum muda-mudi ?. Jangan ditanya lagi, mereka sudah berkelompok.
Di siang itu, ketika musik mulai berdentam-dentum, suara artis mulai membelah siang, beberapa orang pria akan naik ke panggung. Ikut berjoget bersama artisnya, dan, menyawer. Di bawah panggung, beberapa muda-mudi ikut berjoget. Tak ada canggung.
Pada situasi seperti ini, pesta pernikahan barangkali juga adalah panggung bagi penghiburan diri. Menghibur diri dari kesunyian yang seolah abadi (tanpa listrik dan jauh dari pusat ramai) atau juga menghibur diri dari penatnya menjalani hidup yang lambat, seolah melewati hari yang begitu-begitu saja.
Di siang itu juga, seorang pengajar,bahkan naik ke panggung, menari dan ikut menyawer penyanyinya. Menyawer penyanyi adalah hal yang biasa. Sepertinya, menyawer bukan perkara moral, ia perkara hiburan semata. Hiburan bangsa jelata.
Seorang kawan menceritakan jika untuk biaya sewa artis berikut organ tunggalnya saja bisa menghabiskan uang hingga lima juta rupiah. Sungguh jumlah yang besar bagi desa yang mata pencaharian warganya sehari-hari menangkap ikan di sungai. Tapi di desa, biaya ini sangat mungkin ditanggung bersama seluruh anggota keluarga besar.
Di balik panggung, saya duduk bergerombol bersama kumpulan lelaki yang campur baur, antara orang setengah tua dan anak baru gede. Seseorang diantara kumpulan ini berpenampilan sangat rapi, rambut kelimis dan style pakaian yang ketat. Potongan rambutnya cepak. Ia seperti perwira militer, sangat menonjol. Kelihatan sekali ia bukan saja tampil beda, ia juga kelihatan lama hidup di kota.
Dari tangannya mengalir gelas-gelas plastik yang isinya dituang dari botol hijau bermerek ANKER BIR. Sebotol ANKER BIR bisa berharga lima puluh ribu rupiah ketika tiba di desa. Sudah ada beberapa botol bir kosong ketika saya datang dan duduk disitu. Mungkin juga kumpulan ini juga sudah menghabiskan minum beralkohol yang lebih mahal dari harga bir, entahlah. Sungguh ritus yang mewah di tengah kondisi ketertinggalan bukan ?.
***
Pesta pernikahan yang saya saksikan di Galinggang siang itu, dimana kehadiran artis, organ tunggal, juga musik dangdut menjadi simpul utama keramaian. Walau harus menempuh perjalanan sungai dengan transportasi perahu dan bisa menghabiskan banyak uang, tanpa kehadirannya, pesta pernikahan mungkin bukanlah pesta. Ia hanya ritus agama, ia bukan ritus budaya.
Apalagi jika pestanya digelar lagi pada malam hari, sekejap saja desa yang sehari-harinya lengang-tenang akan sejenak hilang dari pemandangan malam. Gadis-gadis muda dengan wewangian yang kadang overdosis pun dandan yang menyolok mata hilir mudik. Pemuda tanggung dengan baju berwarna menyala dan potongan rambut yang licin mengkilap ber-Tancho tak mau kalah aksi. Para penikmat alkohol pun turut serta membaui udara malam yang ketika tiada pesta hanya menyisakan bau pepohonan atau lumpur sungai. Bersama mereka hadir meramaikan konser organ tunggal.
Keramaian ala pesta nikah adalah salah satu penghibur penting bagi orang-orang desa yang sehar-harinya bergumul dengan sungai dan hutan, mencari ikan atau mengerjakan rotan. Atau, jika tak demikian, mereka pergi bekerja di tambang emas tradisional atau ke ibu kota kabupaten. Pesta pernikahan mempertemukan mereka dengan memisahkan mereka sejenak dari kemiskinan dan hidup yang terisolasi dari hiruk pikuk hiburan modern.
Tak penting sesudah pesta bubar, sepi kembali datang, dan, hidup sehari-hari adalah pergulatan melawan kemiskinan.
[Katingan, Juni 2014]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H