Lihat ke Halaman Asli

[Antologi Cerpen] Jugun Ijanfu

Diperbarui: 17 Agustus 2016   11:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: mawarberduri99.blogspot.com

Seperti tambur ditabuh bertubi-tubi, hatiku digendangi iringan peringatan sebuah janji yang menahun, aku tahu akan kah aku diterimanya kembali? Seperti padaku ia mengatakan “kamu pergi untuk kembali”. Itu lah kenyataan yang sebenarnya, soal hatiku yang di cambuk di antara kebohongan dan kejujuran. Morat-marit aku mengatakannya, hanya sehelai puisi yang ku taburkan dalam tuangan kejujuran yang pekat ini.

Untuk seseorang yang ku sayangi :

Kepada rumput yang tersungkur
 ku bertanya menumpu rasaku
 Berharap damai kan terlihat
 Berharap nirwana kan datang padaku
 Aku berharap sang dewa menyapa hatiku
 Memberi seuntai senyuman
 Memberi sekecup ciuman dalam kalbu
 Menyejukan hati
 Menentramkan jiwa
 Menyiram hati oleh air cinta
 yang datang dan pergi
 Mengharapkan semua damai dan abadi
 Indah selamanya
 Selama aku berada di dunia ni
 Aku akan selalu ada di setiap langkahmu
 Menemaniku hingga akhir ragaku
 Kau akan selalu di hatiku
 Bersemi dan berbunga setiap harinya
 Menyinari terus hari-hariku,
 mengharumkan setiap impianku,
 membuatnya menjadi nyata
 dan semoga ini bukan khayalan.
 Khayaln yang selalu mengganggu

Setiap detik langkahku
 Ku hanya tahu engkau satu
 Tak ada yang lain di hati.

 (SSSI, Tika Mustikasari Sosialone)

***

            Menderita kemiskinan membuatku kalang kabut. Kesana –kemari hanya untuk mencari uang seperti tidak ada kata untuk mencari selain uang. Apa tidak pernah terlintas untuk mencari kebahagiaan dan kasih sayang. Setiap orang miskin di dunia, apakah akan sama seperti ku menelangsakan diri sendiri. Menjadikan raga ini hanya untuk dibanting –banting orang. Hanya untuk dibalas dengan gaji. Sekilas membosankan menjadi orang miskin. Semua orang membilang, “bersyukurlah!” aku tahu maknanya bagi mereka. Karena yang berkata orang kaya yang tak pernah merasakan penderitaan kami. Mereka hanya mampu berkata apapun tanpa mampu menjadi orang miskin, apapun yang dilakukan orang miskin. Orang kaya hanya bisa berpoya –poya saja. Aku mendesah. Aku mengelus dada sambil berkata “Astagfirullahaladzim… betapa sombongnya tatkala raga sudah di atas raga” yang artinya ketika manusia sudah mengenal kenyamanan dan kemapanan ia tak pernah melihat kebawah. Selalu ingin disederajatkan dengan orang kaya lainnya.

            “Ibu… Timah lulus sekolah”

            “Nje Alhamdulillah gusti ngatur suhun”

            Aku baru saja lulus dari sekolah. Aku ingin sekali melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi lagi. Agar gaji ku besar. Agar bisa membantu orangtuaku, Ibu dan Ayahku. Sayang sekali sepertinya itu sebuah hayalan fatamorgana. Kau tau fatamorgana, biar ku jelaskan :

***

            “Mas Danang?”

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline