Lihat ke Halaman Asli

Tuti Alawiyah Burhani

Peneliti dan Staf Pengajar

Teen Pregnancy

Diperbarui: 26 Juni 2015   15:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kemiskinan, kekurangan gizi, kekerasan pada anak, dan kenakalan anak di Amerika seringkali dikaitkan dengan kehamilan di usia remaja (teen pregnancy). Ini bisa dipahami, karena kalau anak lahir dari perempuan usia remaja, si ibu seringkali menjadi single parent karena mereka mungkin tidak mau menikah muda, atau laki-lakinya tidak mau bertanggung jawab. Ketika seorang remaja harus mengasuh anak, menyelesaikan sekolah atau bekerja, dan si ibu tidak memiliki resources yang cukup, anak menjadi terlantar.

Beratnya menjadi orang tua ketika remaja, dirasakan Bristol Palin, anak mantan kandidat Wakil Presiden Amerika Sarah Palin. Dia hamil ketika berusia 17 tahun dan dia beruntung karena memiliki resources yang banyak sehingga tidak kesulitan menjadi single parent. Saat ini, dia menjadi ikon sebuah organisasi sosial dan membuat adverstising di TV untuk mengkampanyekan abstinence (tidak melakukan seks sebelum menikah).

Ketika teen pregnancy semakin merisaukan banyak pihak, orang kemudian beralih untuk mengkampanyekan abstinence meskipun penyuluhan seks yang aman dan KB kepada remaja juga masih berjalan. Menurut sebuah penelitian, kampanye abstinence ternyata lebih membuahkan hasil untuk mengurangi teen pregnancy daripada penyuluhan seks yang aman.

Perilaku seks bebas pada remaja di Indonesia saat ini juga sudah merisaukan. Percaya atau tidak, menurut survey BKKBN tahun 2008, 63 persen remaja di kota-kota besar di Indonesia pernah berhubungan seks di luar nikah. Persentase setinggi ini mencengangkan, sudah sedemikian parahkan kondisi kehidupan remaja kita sekarang? Kalau begini kejadiannya, mungkin kita harus semakin menggencarkan kampanye abstinence di masyarakat. Bukan hanya tugas orang tua, keluarga, tapi ada program menyeluruh dari pemerintah, masyarakat, lembaga sosial dan keagamaan.

Kehamilan yang tidak dinginkan terutama di usia remaja beresiko pada terjadinya aborsi yang tidak aman yang bisa merenggut nyawa si ibu. Atau terjadi pernikahan paksa karena tidak ingin membuat malu orang tua dan keluarga. Selain itu, kehamilan yang tidak dinginkan tapi dipertahankan juga bisa mengganggu kejiwaan si ibu dan bisa berakibat pada penelantaran dan kekerasan pada anak.

Terjadinya teen pregnancy di Indonesia juga sering dikaitkan dengan pernikahan di usia muda (di bawah 20 tahun). Saya pernah tinggal di satu perumahan di Cisauk, sekitar 7 KM dari Bumi Serpong Damai (BSD). Meskipun tidak jauh dari BSD, namun, desa-desa di dekat perumahan saya tinggal, sama seperti umumnya desa-desa lain di Indonesia yang miskin.

Banyak remaja perempuan di kecamatan ini yang menikah muda, rata-rata antara 16-19 tahun. Umumnya, mereka hanya duduk di bangku SD atau SMP tapi tidak tamat. Karena anak-anak muda ini tidak sekolah, biasanya mereka bekerja sebagai pekerja rumah tangga di perumahan sekitar atau bekerja di mall-mall sekitar BSD. Yang laki-laki, umumnya menjadi ojek, buruh galian pasir, dan supir atau kenek angkot.

Sepulang bekerja, mereka bertemu dengan teman-temannya di desa tersebut dan berpacaran dengan pemuda sekampung. Faktor tidak lanjut sekolah dan usia pubertas, mungkin yang mendorong mereka menikah di usia muda. Dan karena di sini lazim, maka orang tua dan masyarakat sekitar tidak mempermasalahkan pernikahan di usia muda ini. Buat mereka, wajar jika punya anak perempuan yang mulai akil baligh, untuk dinikahkan karena takut terjadi hal-hal yang tidak mereka inginkan.

Entah program pemerintah tidak sampai, atau penyuluh yang tidak bisa menjangkau semua kalangan, berbagai resiko pernikahan di usia dini seperti tidak bergaung di sini. Sebetulnya, ada banyak resiko buat perempuan untuk hamil di usia muda. Selain alasan medis, bahwa perempuan yang terlalu muda belum memiliki otot rahim yang kuat untuk mengandung dan melahirkan anak; alasan psikologis, di mana remaja seusianya seharusnya duduk di bangku sekolah dan ia harus mengurus anak dan rumah tangga; maupun alasan ekonomi, karena itu seperti menjadi sebuah lingkaran kemiskinan, karena si ibu dan bapak yang tidak cukup memiliki pendidikan akan sulit untuk mendapat pekerjaan yang lebih baik. Kondisi kemiskinan juga biasanya memaksa perempuan untuk pergi dari rumah dan meninggalkan anaknya tanpa pengawasan yang memadai untuk membantu mencari nafkah untuk anak dan keluarga.

Menyadari begitu besarnya persoalan teen pregnancy, saya jadi bertanya-tanya, “Apa ya yang bisa kita lakukan untuk memerhatikan ibu-ibu muda ini? Layanan dan program apa saja yang selama ini ada (dari pemerintah maupun LSM) untuk membantu orang tua muda dan anak-anaknya?”

Program pemerintah biasanya hanya sebatas posyandu yang mencakup imunisasi untuk anak dan timbangan bayi. Alat kontrasepsi seperti KB pun tidak masuk dalam layanan posyandu dan mereka harus membeli pada bidan atau puskesmas setempat. Biasanya, tidak ada kegiatan untuk membantu para ibu untuk menjadi orang tua yang baik (parenting skills), mengatasi stress menjadi orang tua, tidak ada kegiatan untuk mengikutsertakan ayah dalam pengasuhan, apalagi sampai menyediakan tempat penitipan anak (day care) gratis sehingga si ibu atau ayah, misalnya, bisa bekerja atau meneruskan sekolah jika mereka mau.

Sebagai perbandingan, di negara maju, banyak program pemerintah dan program organisasi sosial untuk membantu para ibu muda yang hamil saat remaja untuk mendorong mereka melanjutkan sekolah. Pemerintah dan LSM di negara maju seperti Amerika banyak yang menyediakan day care gratis, konseling, dan layanan lain seperti kesehatan, kebutuhan pokok seperti makanan dan pakaian, dan penyuluhan seperti parenting skills, dan peran ayah dalam pengasuhan.

Di Indonesia, mungkin teen pregnancy belum dianggap sebagai sebuah masalah sosial sehingga isu ini tidak begitu banyak mendapat perhatian publik. Namun, sesungguhnya fenomena ini sering terjadi di depan mata kita. Semoga ada perhatian yang lebih besar baik dari pemerintah maupun masyarakat dan LSM.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline