Lihat ke Halaman Asli

Tuti Alawiyah Burhani

Peneliti dan Staf Pengajar

Keputusan Menikah

Diperbarui: 26 Juni 2015   15:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Menjadi orang tua itu berat loh! Kata orang, "makanya jangan buru-buru pingin nikah, bebannya berat jadi orang tua". Jadi ibu ataupun bapak, sama beratnya. Ada pasangan suami isteri yang membagi tugas dimana yg satu mencari nafkah, yg lain mengasuh anak dan mengurus rumah tangga. Ada juga yg dua2nya bekerja di luar rumah dan salah satu mendapat beban ganda. Ada yg ideal, ketika dua2nya bekerja, dua2nya juga punya andil yg sama dalam mengurus anak dan rumah tangga.

Wah, jangan dibilang ya, mengurus rumah dan anak itu pekerjaan mudah! Bapak-bapak jangan menyepelekan kalau isterinya di rumah mengurus anak dan rumah saja. Itu tuga yg sangat2 berat. Di Indonesia, seringkali tugas-tugas manual diambil alih oleh pekerja rumah tangga (PRT). Jadi, si ibu tidak sangat kecapekan dan kelelahan mengurus semua hal sendirian. Karena sifat PRT adalah asisten dari si ibu, tentunya tidak arif ya kalau kita bebankan semua pekerjaan sama dia. Nah, ibu dan bapak lagi kan yg tetap harus turun tangan untuk mengurus tetek bengek urusan rumah tangga. Ada yg bilang, pekerjaan rumah tangga itu tidak ada habis2nya, dari bangun tidur sampai mau tidur lagi, ada aja yang harus dikerjakan. Di Indonesia, kita masak tiga kali sehari, pagi, siang, dan malam. Kalau waktu masih single, kita sering beli makan di luar, tapi kalau udah berkeluarga, selain masak itu lebih hemat, juga lebih sehat. Terutama kalau kita punya anak2 kecil yang butuh asupan gizi yg maksimal, maka beli makan di jalan bukan pilihan yg baik.

Di negara yg lebih maju, karena banyak perempuan bekerja di luar rumah, banyak pekerjaan pengasuhan dan pekerjaan rumah lainnya yang dikerjakan oleh orang professional. Bagi yg bekerja, kalau berniat punya anak, mereka biasanya sudah merancang untuk menitipkan anaknya di salah satu day care atau menghire baby sitter. Urusan membersihkan rumah, mereka bisa memanggal cleaning service. Urusan mecuci baju, rata2 mereka tidak mencuci baju setiap hari, tapi seminggu sekali. Karena ada fasilitas mesin cuci dan dryer, mereka tidak terbiasa menjemur baju di matahari. Di dryer, baju yang baru dicuci bisa langsung kering dalam waktu 30 menit. Jadi waktu mereka tidak banyak dihabiskan untuk nunggu jemuran kering. Ini ada positif negatifnya. Ya, mereka memang bisa menghemat tenaga dan tidak buang-buang waktu untuk menunggu jemuran kering, tapi mereka menjadi konsumen energi terbesar di dunia yang katanya merusak ozone dan menyebabkan terjadinya perubahan iklim. Kalau di saat Winter (musim dingin), mungkin tidak apa2 mereka menggunakan fasilitas dryer, tapi ketika Summer (musim panas), alangkah baiknya kalau mereka mau menggunakan energy yang gratis dari matahari.

Di sini, rata2 laki-laki terbiasa dengan mencuci baju sendiri dan mencuci baju bersama anggota keluarga lainnya. Untuk memasak, orang-orang di sini, biasanya makan pagi dan siang sekedarnya, baru mereka akan makan malam yg tidak sekedarnya, biasanya masak sendiri atau pergi ke restaurant. Namun, karena ada standar gaji yang jelas, di negara maju, gaji seorang babysitter bisa sama besarnya dengan gaji orang kantoran. Rata2, mereka mematok $ 8-15 per jam, tergantung pengalaman dan keahlian.

Kembali ke selorohan teman dan tetangga tadi, saya termasuk orang yang ingin membuktikan bahwa keputusan menikah itu tidak dilihat dari usia, meskipun pada umumnya usia menentukan kematangan kita. Dan bahwa menjadi orang tua, ya berat, tapi itu bisa dipelajari sambil jalan...learning by doing. Keputusan menikah, bagi saya sangat simple, sesimpel pikiran orang kuliahan yg sering tidak banyak berpikir panjang untuk mengambil keputusan. "Gak mau lama2 pacaran ah... nikah aja yuk! ajakku pada calon suamiku saat itu. Singkat cerita, kami menikah di bulan Mei tahun 1999, saat itu usiaku 22 tahun, dan belum selesai sarjana. Kalau kata orang tua dulu, "udah, pokoknya bismillah aja"...gak punya modal menikah gak pa2 asalkan semua lancar dan selamat sampai tujuan.

Menjadi orang tua, susah, iya... tapi sebetulnya keputusan memiliki anak harus dibedakan dari keputusan menikah. Punya anak bisa dihindari dengan berKB. Di Indonesia, kita sering mendengar bahwa kalau menikah itu akan langsung punya anak, sehingga mungkin ada orang menunda menikah karena takut punya anak.

Jalan untuk menikah itu memang panjang dan berliku, banyak rintangannya. Bukan hanya karena faktor takut punya anak, tapi ada hal-hal lain, seperti komitmen, tidak ada modal untuk menikah, belum bekerja, belum menemukan yg cocok, dan seterusnya. Memang, cari yg sempurna dan cocok sekali susah, sebuah hubungan akan selalu tidak sempurna, seperti halnya diri kita sendiri yang tidak sempurna.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline