Salah satu aliran filsafat yang banyak digunakan adalah aliran pragmatisme. Pragmatise merupakan aliran filsafat yang tidak mempertanyakan tentang kebenaran dan kebaikan atau hal-hal yang sifatnya normatif, namun pragmatisme lebih berusaha menjernihkan gagasan dengan membuktikan gagasan tersebut sifatnya sensibel. Pragmatism anti pada hal-hal yang bersifat mutlak, dan menolak metafisika. Pragmatisme menolak dualism, karena bagi orang-orang yang menganut paham pragmatis, realitas adalah sesuatu yang terus berkembang, tidak terbagi-bagi, dan terbukti melalui Tindakan. Yang terpenting dari paham pragmatism adalah ide atau gagasan yang mampu mengubah realitas.
Beberapa tokoh yang menganut filsafat pragmatism yaitu: Charles sandre Peirce, wiliam James, John Dewey, Heracleitos. Dalam konsepnya, Charles sanders peirce (1839) menyatakan bahwa sesuatu dinyatakan berpengaruh bila memang membuat hasil yang praktis. Ia juga mengatakan bahwa pragmatisme sebenarnya bukan suatu metafisika dan juga bukan teori kebenaran melainkan suatu teknik memecahkan masalah. William James (1842) yang lahir di New York pada tahun 1842, mengemukakan bahwa tidak ada kebenaran mutlak yang berlaku umum, bersifat tetap, berdiri sendiri. Salah satu pragmatis yang konsepnya banyak digunakan dalam Pendidikan adalah John Dewey (1859-1852). Tujuan filsafat yang diungkapkan Dewey untuk mengatur kehidupan dan aktifitas manusia agar lebih baik. Filsuf pragmatis Herakleitos (550-480SM) memiliki pemikiran yang sukar untuk dipahami, salah satunya tentang perubahan alam semesta.
Pragmatisme dalam bidang Pendidikan dipelopori oleh John Dewey, yang pemikirannya didasarkan pada perubahan, proses, relativitas, dan rekonstruksi pengalaman. Paham pragmatism melihat kenyataan sebagai interaksi manusia dengan lingkungannya. Metodologi paham pragmatism menekankan pada metodologi pemecahan masalah. Belajar berarti seseorang terlibat di dalam pemecahan masalah. Dalam epistemology eksperimental menurut Dewey, siswa/pelajar, baik sebagai individu maupun anggota kelompok menggunakan metode-metode ilmu untuk memecahkan baik masalah pribadi maupun masalah sosial.
Menurut Dewey, anak-anak belajar lebih banyak dan lebih cepat ketika guru mendorong rasa keingintahuan alami mereka, bukan menjadikan mereka sebagai subjek yang kaku dan berdisiplin dengan cara-cara memberikan hukuman secara tradisional seperti dalam Pendidikan abad ke-19 pada umumnya. Oleh karena itu, ia menggunakan permainan dan bentuk-bentuknya yang beragam sebagai alat belajar. Dalam pengamatannya, ia menemukan bahwa cara anak-anak belajar banyak hal sama seperti orang dewasa, yang berbeda hanyalah informasi yang mereka butuhkan untuk memecahkan masalah-masalah yang mereka mengerti dalam sudut pandang mereka sendiri. Sehingga, menurut Dewey Pendidikan menjadi bermakna bila peserta didik mampu melakukan pemecahan masalah.
Aliran pragmatism memandang guru sebagai pemimpin pembelajaran yang harus kreatif, yang tidak terpaku pada buku panduan yang dimiliki anak didiknya. Guru harus belajar mempertahankan agar anak didik senang belajar dengan melihat dunia dari sudut pandang anak-anak serta sudut pandang orang dewasa.
Dari kajian tentang Pendidikan versi pragmatism John dewey, jelas terlihat bahwa pragmatism dalam Pendidikan memberikan teknik yang berbeda dari biasanya, Pragmatisme pendidikan memposisikan anak didik sebagai pihak yang sangat penting dan mesti dipahami dengan baik dan benar. Pendidikan yang menggunakan paham pragmatism mengharapkan anak didik dapat menikmati proses pendidikannya, dan cara yang dapat dilakukan adalah pendidik harus memahami kebutuhan anak didiknya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H