Jalan menuju desa Rocopolo cukup membuat saya degdegan. Jalan kecil berliku dengan tikungan tajam. Sebentar - bentar saya menghela nafas melihat kabut mulai menyesir. Daerahnya sangat sepi hanya beberapa rumah bergerembol habis itu lenyap ditelan untaian bukit rindang. Apakah saya salah jalan?..
"Kelewatan mas" !!! "nanti ada pertigaan samping warung bakso belok kiri naik keatas" Kata seorang warga yang saya tanya.
Saya mengerutu, susah kali mencari perkebunannya.tapi apalah, sudah tanggung jauh.
Dari perempatan, jalan raya sudah berakhir diganti dengan jalan cor yang terbelah dua. Hujanpun tiba-tiba jatuh sangat lebat. Bulu kuduk saya merinding menapaki jalan sempit yang diganjal jurang terjal. Kabutpun seakan berkumpul meradang melihat kedatanganya saya. Piuh...baru kali ini saya merasakan takut di siang hari..
"Rumahnya disebelah kanan, ada turunan terjal". Begitu informasi yang saya dapet dari petani yang yang lewat. Rumah didesa ini seperti tak berteman. Mereka angkuh sendiri-sendiri bergelanjut di sudut tepian jurang. Kabut sore sungguh sungguh memotong jarak pandang mata saya. Bersabarlah nanti pasti ketemu..
"Ini pasti rumahnya" kata teman saya seorang jurnalis senior. Tak peduli hujan lebat saya berlari menuruni jalan kecil yang licin. Si pemilik rumah terlihat curiga ketika kami datang. Dengan menenteng handuk merah, dia mulai mencungkil informasi, siapa kami gerangan yang berani datang.
Bibirnya yang mengeras mulai mengendur saat dia tahu kami hanya cecunguk penggila durian.
"Yo wis telat mas, sudah habis durianya. Kemaren loh pas lebaran mulai panen. Lumayan musim ini 1500 buah"..
Gubrak, inilah akhir dari perjalan saya. Cukup mengenaskan tapi toh itu resiko. Ini bukan sinetron happy ending.
"Tapi sebentar" kata beliau yang belakangn saya tahu namanya pak Sobur.
Dari balik tirai dapur dia membawa 3 buah durian.