Lihat ke Halaman Asli

(Anti) Keseragaman dan (Anti) Mayoritarisme

Diperbarui: 24 Juni 2015   04:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

... (Anti) Keseragaman dan (Anti) Mayoritarisme.

Saya awali sabtu pagi ini dengan "curhat" dari hati. Bagi yang tidak suka curhat ini, silahkan saja berhenti membaca. Saya benar-benar menulis ini tanpa tujuan supaya dikomen, dibaca, atau dilike. Tujuan saya menulis ini, untuk tetap berpikir, untuk men-transformasi-kan "isi" kepala kedalam selembar A4.

Kamis 28 november 2013, kami mempunyai ujian, ujian yang cukup melelahkan buat ku. Mungkin itu termasuk ujian yang paling melelehkan di sepanjang sekolah formal yang saya jalani. Ini memang benar-benar November Rain. Besoknya kami seharusnya mengumpulkan tugas, dan karena memang sudah melelahkan saya berniat mengumpulkan tugas hasil "plagiat" besar-besaran.

Saya benar-benar ragu, kalau ketahuan itu akan sangat memalukan. Tetapi kalau tidak dikumpul, takutnya tugasnya tidak akan di terima kalau dikumpul terlambat. Tetapi kemudian saya ingat pelajaran "Etika dan Moral" dari Prof. Gede Raka, beliau bilang, etika dan moral itu sederhana, andaikan apa yang kamu lakukan itu di tulis di koran, di siarkan di televisi. Kalau menurutmu itu tidak apa-apa, silahkan dilanjutkan. Lalu, saya sadar, akan sangat memalukan, seorang plagiat. Dan akhirnya saya berpikir lebih baik mendapat nilai E satu mata kuliah itu, daripada di kenal sebagai tukang "plagiat". Dan akhirnya tugas tersebut tidak jadi dikumpul.

Setelah bangun pagi, masih seperti dahulu kala, hidupkan labtop, segelas kopi, dan bermain-main dengan matlab. Dan dua jam kemudian tugas tersebut hampir selesai. Seraya berharap tugas tersebut masih di terima dosen senin pagi.

Kemudian saya teringat orbolan tadi malam, ternyata ada "beberapa" orang yang claim status-status facebook ku sebagai ratapan hati. Ini untuk kesekian kalinya, mungkin sekitar belasan orang juga ikut "claim" statusku terlalu serius.

Saya tanggapi dengan "sedikit" senyum , di tambah sedikit arogant. Begini, jika statusku sama dengan status si "beberapa" itu , apa bedanya kami. Saya tidak suka dengan keseragaman itu, seandainya status si "beberapa" itu serius, saya akan mencoba alay, menulis status "smunguttt eah, atau apalah". Supaya kami beda.

Juga begini teman, Apalah arti tugas itu, jika tugas satu kelas sama?. Bukankah proses "berpikir", mendapat hasil yang berbeda-beda, merasakan hal yang berbeda, membawa kita pada pemahaman yang berbeda pula, Itu sebuah pejalanan pendidikan?.

***
Beberapa hari sebelumnya, saya berpikir "sinting". Bagaimana kalau sekolah sekolah di Merger. Semua SMA di bandung di jadikan SMA N 3 Bandung, Semua sekolah di medan di merger jadi SMA st Thomas misalanya, Semua sekolah jakarta di merger jadi SMA 78. Itu akan sangat efisien, kita akan mengirit gaji ratusan kepala sekolah menjadi satu, kurikulumnya, dan segala macam. Dan hasil efisiensi tersebut di pindah menjadi gaji guru.

ITB, UI, UNPAD, IPB, UPI, dan UNPAR di merger jadi UNIVERSITAS GADO GADO, apa yang terjadi? juga akan lebih efisien. Tetapi apa yang menajadi masalah?

Masalahnya adalah "keseragaman". Kita tidak punya lagi pebedaan, kita tidak punya lagi ciri anak SMA 8, tidak punya lagi ciri anak SMA 3, kita tidak punya ciri anak UI, kita tidak punya jaket kuning, atau mungkit kita tidak punya lagi "anak-anak ITB yg katanya paling arogan sepanjang masa".

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline