Lihat ke Halaman Asli

Besiru dan Solidaritas Sosial Masyarakat Pedesaan

Diperbarui: 30 November 2017   21:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

foto : dokpri

Sebagai komunitas terkecil masyarakat yang masih memegang teguh tradisi, adat istiadat dan budaya, masyarakat pedesaan dalam menjalani kehidupan dan interaksi sosial dengan sesama juga senantiasa mengedepankan prinsip - prinsip kekeluargaan, sebagai bagian tidak terpisahkan dalam kehidupan masyarakat pedesaan dan masih tetap terjaga sampai sekarang

Nilai budaya dan prinsip kekeluargaan tersebut bisa dilihat serta tercermin dengan banyaknya terdapat praktik baik di tengah masyarakat pedesaan. Selain gotong royong, musyawarah dan mufakat, salah satu budaya baik yang masih  tetap ada dan bisa ditemukan di tengah masyarakat pedesaan adalah tradisi "besiru" (saling membantu) dalam menyelesaikan pekerjaan mengolah lahan pertanian, dari proses menggarap lahan hingga masa panen dilaksanakan

Tradisi "besiru" dalam praktiknya tidak saja sebatas aktivitas saling membantu meringankan pekerjaan, mengelola lahan pertanian dengan sesama petani semata, "besiru" juga sebagai bukti masih kuatnya ikatan emosional persaudaraan, kebersamaan dan solidaritas sosial yang dibangun atas dasar prinsip kekeluargaan masyarakat pedesaan

Media Sosial dan Atas Nama Kebebasan

"Besiru" merupakan tradisi turun temurun yang berlangsung di tengah masyarakat pedesaan dari zaman nenek moyang dan terus diwariskan sampai sekarang, bahwa dalam mengelolaan lahan pertanian, kerjasama saling membantu sangat diperlukan untuk meringankan beban pekerjaan

Mengingat, hampir sebagian besar masyarakat pedesaan memiliki lahan pertanian, baik ladang maupun areal persawahan, dengan luasan mencapai hektaran, sehingga tidak memungkinkan bisa dikerjakan sendirian dan membutuhkan bantuan warga masyarakat lain dalam bentuk "besiru"

Pada masyarakat pedesaan sistim upah jarang dilakukan, bukan karena tidak ada uang, tapi karena hampir sebagian warga memiliki lahan pertanian garapan, itulah kenapa kebanyakan warga lebih memilih "besiru" daripada menerima upah ketika diajak warga lain menyelesaikan pekerjaan menggarap lahan yang hendak ditanami, supaya ketika giliran mengolah lahan sendiri, ada yang membantu mengerjakan

foto : dokpri

Pola kerja yang sama juga berlaku bagi  petani lain, sehingga bagi warga masyarakat terutama pemuda yang malas "besiru", maka ada semacam sangsi sosial tidak akan dibantu dan hanya akan ditonton ketika giliran mengolah lahan pertanian sendiri termasuk menanam sampai masa panen

Meski dilakukan dalam keseharian, "besiru" paling ramai dilakukan ketika masa tanam musim penghujan tiba, petani di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB), terutama petani lahan tadah hujan bagian selatan yang menanam dengan pola tanam "najuk" atau Gogorancah (Gora) tua, muda, laki  dan perempuan, bahu membahu saling membantu, antara petani satu dengan petani lain

"Besiru" biasa dilakukan dari proses, membajak sawah, najuk, menyemai sampai musim panen tiba termasuk mengangkut hasil panen dari sawah sampai rumah masing - masing warga. Semua dilakukan dengan pembagian peran yang bisa dilakukan

Pada proses penanaman padi dengan pola tanam Gora misalkan, membuat lubang pada lahan sawah yang ditanami padi umumnya lebih banyak dikerjakan kaum laki - laki, sementara bagian pengisian lubang tanah menggunakan kayu merupakan bagian pekerjaan perempuan, demikian juga dengan proses penyemaian, hingga proses panen

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline