Lihat ke Halaman Asli

Tetap Indonesia, Dimanapun Berada

Diperbarui: 24 Agustus 2015   21:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

 

Hampir enam bulan terakhir, saya berada di Negeri Paman Sam, menemani suami studi lanjut. Tinggal di negeri yang kerap disebut dengan “The Land of Dreams”, membuat saya begitu mudahnya bertemu dengan orang-orang baru dari berbagai belahan dunia. Mereka datang ke Amerika Serikat (AS) dengan berbagai tipe dan cara. Ada yang datang berstatus imigran legal menggunakan Green Card, pengungsi (refugee), visitor dengan beragam tipe visa, atau malah datang dan tinggal secara ilegal.

Harapan para pendatang  itu rata-rata sama, yakni ingin meraih kehidupan yang lebih baik. Meski kota yang saya tinggali hanyalah sebuah kota kecil di negara bagian Ohio, namun itu tak mengurungkan niat pendatang untuk merajut mimpi-mimpi indahnya. Tak heran bila di kelas bahasa yang saya ikuti, acapkali saya ditanya oleh rekan-rekan mengenai rencana mendatang. Apakah nantinya hendak kembali ke Indonesia ataukah ingin menjadi warga negera AS. Dengan tegas saya menjawab akan kembali ke Indonesia, karena masih cinta pada tanah air.

Mendengar jawaban itu, tanggapan mereka pun beragam. Ada yang memahami, namun ada pula yang meragukan rencana tersebut. Menilik masa tinggal saya yang baru dalam hitungan bulan, beberapa dari mereka yakin, seiring waktu keputusan saya pasti akan berubah. Mereka memprediksi pada akhirnya saya akan jatuh cinta pada AS dan memutuskan mengubah kewarganegaraan. Saya hanya bisa tersenyum. Kita lihat saja nanti, kata saya dalam hati.

Rekan-rekan di kelas saya memang rata-rata imigran ataupun pengungsi yang sedari awal berkeinginan menjadi warga negara AS. Tak heran bila mereka ragu dengan keinginan saya yang berbalikkan dengan tujuan mereka. Mereka tidak tahu bahwa sejatinya saya tetap Indonesia, dimanapun saya berada. Sebelumnya ketika sempat tinggal di Jerman selama dua tahun, pindah kewarganegaraan tak pernah mampir di pikiran kami. Kami tetap ingin kembali dan berkontribusi bagi kemajuan tanah air.

 

Meski tinggal di negeri orang, keterikatan dan kecintaan kami pada tanah air tetaplah kuat. Misalnya dalam soal  makanan, hampir tiap hari kami  masih mengkonsumsi nasi. Tanpa menyantap makanan utama itu, rasanya perut masih saja keroncongan. Di rumah juga selalu tersedia kecap manis buatan Indonesia yang kami beli di toko Asia terdekat. Bagi suami saya, makan belumlah lengkap jika tidak ditemani beberapa tetes kecap manis. Bahkan makan pizza atau spaghetti sekalipun, ia tetap minta tambahan kecap.

 

 

Persediaan bumbu khas Indonesia, seperti: terasi, bumbu pecel, bumbu rendang dan bumbu-bumbu khas Indonesia lainnya juga menjadi pengisi lemari dapur kami.  Tak heran bila  hidangan ala Indonesia menjadi menu yang sering kami santap.  Hidangan itu misalnya: nasi campur, siomay, pecel, tempe goreng lengkap dengan sambal terasinya, sambal goreng kentang, telor dan terong balado, rendang telor, lumpia basah, perkedel, pisang coklat dan pisang goreng. Bubur kacang hijau dan kolak pisang pun kerap kami santap saat cuaca dingin melanda. Ya, semua itu kami lakukan demi menepis rindu kami pada tanah air.

Saya dan suami juga berusaha tetap mengikuti berita-berita yang sedang hangat di tanah air. Dari isu politik sampai isu ringan seperti kasus Briptu Norman, semuanya kami nikmati. Beberapa program talkshow favorit kami semasa di tanah air juga masih kami saksikan secara online melalui internet. Guna mengasah kemampuan menulis, saya pun berusaha membaca dan menyempatkan diri nge-blog di Kompasiana.  Bahagia rasanya bisa sejenak “kembali” berada di Indonesia, meski hanya lewat dunia maya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline