Lihat ke Halaman Asli

tunggul

menulis tanpa bakat

Bayang

Diperbarui: 28 Maret 2024   10:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Di antara cahaya senja yang meluncur perlahan, inilah aku, muncul sebagai pemeluk tak terlihat, setia menemani setiap langkah raga pemilikku. Aku adalah entitas yang terlahir dari sinar lembut maupun terang, hadir dalam keheningan yang menyelimuti setiap momen yang dilalui olehnya, oleh sang pemilik diriku.

Dalam keceriaan, aku kan menyapu setiap sudut hatinya dengan kehangatan yang tak terungkapkan. Aku kan melingkupinya dalam kegembiraan yang mengalir, merayakan setiap tawa yang merekah dan setiap senyum yang membuncah. Namun, di balik sorot matanya yang berbinar, aku sembunyikan kerinduan yang dalam, kerinduan untuk diakui, untuk dipahami.

Dan ketika kesedihan menghampiri, aku kan selalu masih setia berada di sana. Aku berupaya membawa rasa nyaman yang tak terucapkan, menyelimuti dirinya dengan kelembutan yang menyiratkan bahwa ia tidak sendiri. Namun, seringkali, ia terlepas dari keberadaannya, terperangkap dalam alur kesibukan yang mengaburkan pandangannya akan yang sebenarnya jelas terlihat, yakni diriku.

Meski selalu dilupakan, aku kan tetap setia menjalankan perannya, seperti selama ini. Aku adalah pelipur lara yang tak pernah lelah, penjaga yang tak kenal lelah, hadir dalam setiap detik, dalam setiap helaan napasnya. Kusadari sudah, pengakuan bukanlah yang terpenting, tetapi hadir dalam setiap keadaan, menjadi teman dalam setiap perjalanan hidup.

Aku kan terus bergerak, mengikuti jejak dirinya dengan setia. Meskipun tak terlihat oleh mata yang terpesona oleh dunia yang terlihat, kehadiranku tetap memberikan cahaya, memberikan harapan, dan memberikan cinta yang tak pernah pudar. Demikian menurutku.

Satu momen yang paling kunanti, paling kusukai dan kuhargai adalah ketika ia bersujud. Dalam detik-detik sujud itu, rasanya seakan-akan diriku terhubung secara langsung dengannya, tidak hanya dalam dimensi fisik, tetapi juga dalam dimensi jiwa.

Ketika kepala sang pemilik menyentuh bumi dengan lembutnya, aku merasa seolah-olah dunia ini berhenti berputar. Dalam kesenyapan yang memeluk, aku dengan penuh gembira mendengarkan doa-doa yang terlontar dari lubuk hatinya. Suara-suara bisikan itu meresap ke dalam dirinya, memenuhi ruang kosong yang ada.

Aku, takkan pernah lelah mengikuti langkahnya, merasakan kedalaman hubungan yang terjalin dalam sujud. Kepala yang bertemu dengan bumi, doa-doa yang terlontar dari bibir sang pemilik, dan kehadiran yang mengalir dalam setiap helaan napas, semuanya membentuk ikatan yang tak terputus. Dalam sujud itu, bayang menemukan kedamaian yang tiada tara, kebersamaan yang tak terucapkan, dan kebahagiaan yang memenuhi setiap serpihan dirinya.

Kini kusadari satu kenyataan tak terhindarkan, ia menjelang sakaratul maut. Aku tahu sebuah saat akan menjelang, yaitu bahwa perpisahan tak terelakkan. Namun, meski ditinggalkan dalam keheningan yang menyayat hati, aku tidak merasa kecewa. Kehadiranku selama ini bukanlah untuk dikenang atau dihargai, tetapi untuk menjadi saksi yang setia, penjaga yang tak kenal lelah.

Dalam momen-momen terakhir ini, aku justru merasakan kedamaian yang membanjiri hati. Meskipun tak pernah diakui, tak pernah dihargai, aku tahu bahwa peran sebagai saksi tak akan pernah pudar. Akulah saksi dari setiap langkah, dari setiap peristiwa, dari setiap perasaan yang dilalui oleh sang pemilik. Dan di sinilah, di saat-saat terakhir yang menghampiri, bayang masih tetap setia, merangkul langit yang telah berlabuh, dalam keabadian yang terpahat oleh waktu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline