Lihat ke Halaman Asli

tunggul

menulis tanpa bakat

Suatu Senja di Masjid Nabawi

Diperbarui: 27 Maret 2024   09:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Saat senja menyapa, cahaya keemasan mentari perlahan meredup, membiarkan langit menyelimuti Madinatur Rasul dengan nuansa keemasan yang menyejukkan. Di semua pelataran Masjid Nabawi, gemerlap cahaya lampu mulai menghiasi sekelilingnya, menambah keanggunan pada bangunan suci itu.

Langkah kami berdua beseiring, aku dan isteriku, menapaki lantai pelataran yang basah sisa hujan gerimis tadi. Dari hotel yang kami tempati, hanya perlu sebentar saja menuju gerbang 339, gerbang masuk masuk yang menjadi saksi setia kehadiran kami disini. Dari situ kami terus melangkah menuju Pintu 25, tempat masuknya jamaah wanita kedalam masjid agung ini.

Burung-burung merpati terbang riang berkelompok di sekitar gerbang 339. Mereka berkumpul dengan damai, menciptakan orkestra alam yang menenangkan, menentramkan. Pemandangan yang membasuh hati dengan kesejukan dan kegembiraan.

Sementara itu, langit semakin memudar ke arah barat, menciptakan lukisan alam yang mengagumkan dengan warna-warna keemasan dan jingga. Udara pun mulai terasa sejuk, merangkul setiap langkah kami dengan hangatnya senja yang merayakan keindahan ciptaan Tuhan.

Dalam momen indah itu, kami merasakan kehadiran Yang Maha Kuasa yang begitu dekat, seperti memeluk kami dengan kasih-Nya di bawah sinar senja yang memancar keanggunan dan kedamaian. Itulah saat-saat yang selalu kami nantikan setiap hari di bumi yang penuh berkah ini, bersama-sama merenungi kebesaran-Nya di antara keindahan senja di Masjid Nabawi.

Orang-orang berjalan ramai. Mereka dari segenap penjuru dunia dengan satu tujuan pasti, beribadah kepada-Nya. Sungguh pemandangan yang menggugah jiwa.

Dan tiba-tiba terdengar seruan, "Indonesia...!" Panggilan itu memecah keheningan dengan lembut namun cukup tegas untuk menarik perhatian kami. Dengan penuh rasa ingin tahu, kami menoleh ke arah sumber suara, dan tampaklah seorang bapak sepuh berjalan tertatih perlahan menuju kami, tanpa alas kaki.

Tanpa ragu, aku segera melangkah mendekat, memapah agar beliau tidak terpeleset di pelataran yang masih basah akibat hujan gerimis beberapa waktu lalu. Pelataran ini memang sangat luas, menjadi salah satu yang terluas di dunia, namun kini sedikit licin karena sisa-sisa hujan. Bapak sepuh itu nampak tidak menggunakan alas kaki, membuat langkahnya semakin berhati-hati.

Sambil berjalan beliau menceritakan bahwa sejak selesai shalat Ashar, ia telah menunggu hingga waktu Maghrib tiba, sementara rombongannya kembali ke hotel. Beliau baru saja tertidur sejenak dan tiba-tiba terjaga, menyadari bahwa ia perlu memperbarui wudhu. Namun, kini beliau lupa tempat meletakkan sandalnya. Aku dan isteriku terkejut. Sadar akan banyaknya rak alas kaki di Masjid Nabawi, yang mungkin mencapai ratusan, dan semuanya tampak serupa: berwarna putih, rendah sekitar setengah meter saja, dan tersusun berkelompok di setiap pintu masuk.

Mendekati pintu 25, salah satu pintu masuk bagi jamaah wanita di Masjid Nabawi. Sejak hari pertama kami tiba di tempat suci ini, aku dan isteriku telah sepakat untuk saling menanti di bawah tiang kipas besar di depan Pintu 25. Ketika tiba di sana, isteriku memberiku salam perpisahan sambil berkata, "Ayah, jaga Bapak ya." Aku mengangguk faham. Namun, kepala ini terus dipenuhi pertanyaan: bagaimana cara membantu Bapak sepuh ini?

Aku bertanya kepada beliau, mungkin saja masih mengingat di mana beliau meletakkan sandalnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline