Ketika membicarakan Ki Hajar Dewantara, yang langsung terlintas di benak banyak orang adalah perannya sebagai Bapak Pendidikan Nasional.
Namun, jauh sebelum namanya diabadikan dalam sistem pendidikan Indonesia, ia adalah seorang jurnalis dan pejuang yang menggunakan pers sebagai senjata perlawanan terhadap kolonialisme.
Dunia pers, pada masanya, bukan sekadar alat untuk menyebarkan berita, tetapi juga menjadi medan tempur gagasan dan kesadaran.
Sebagai seorang pribumi di bawah penjajahan Belanda, Ki Hajar Dewantara, yang lahir dengan nama Raden Mas Suwardi Suryaningrat, menyadari betapa timpangnya akses terhadap pendidikan dan informasi.
Kaum pribumi hidup dalam keterbatasan, baik dalam kesempatan belajar maupun dalam hak bersuara.
Dalam kondisi seperti inilah, pers menjadi jalan bagi kaum terpelajar untuk menyuarakan keresahan dan membangkitkan kesadaran nasional.
Ki Hajar Dewantara pun memilih pena sebagai senjatanya.
Sebagai seorang jurnalis, ia tidak hanya menulis untuk sekadar melaporkan kejadian, tetapi lebih dari itu, ia menggunakan tulisan sebagai alat perjuangan politik.
Bersama dua rekannya, Douwes Dekker dan Tjipto Mangunkusumo, ia mendirikan Indische Partij, sebuah organisasi politik yang bertujuan mencapai kemerdekaan Hindia Belanda.
Untuk mendukung perjuangan ini, mereka juga mendirikan surat kabar De Expres, yang menjadi corong perlawanan terhadap kebijakan kolonial.