Malioboro bukan sekadar jalan, bukan sekadar tempat wisata, dan bukan sekadar nama yang disebut-sebut dalam lagu nostalgia.
Ia adalah nadi perekonomian Yogyakarta, denyut kehidupan bagi ribuan orang yang menggantungkan hidupnya di sana. Dari pagi hingga malam, kawasan ini tak pernah benar-benar tidur.
Pedagang kaki lima, pemilik toko, tukang becak, seniman jalanan, hingga pekerja sektor informal lainnya, semuanya berkelindan dalam satu ekosistem yang hidup.
Sejak dulu, Malioboro memang menjadi pusat perniagaan. Tak hanya karena lokasinya yang strategis di tengah kota, tetapi juga karena daya tariknya yang kuat bagi wisatawan.
Para pelancong datang bukan sekadar untuk menikmati suasana khas Yogyakarta, tetapi juga untuk berbelanja. Batik, suvenir, makanan khas, hingga barang-barang unik yang hanya bisa ditemukan di lorong-lorong Malioboro menjadi magnet yang menarik jutaan orang setiap tahunnya.
Bagi para pedagang kaki lima, Malioboro adalah segalanya. Mereka bukan hanya menjajakan barang, tetapi juga mempertaruhkan hidup mereka di sini.
Dalam sehari, penghasilan mereka mungkin tak seberapa, tetapi jika Malioboro lesu, nasib mereka pun ikut terombang-ambing.
Ada keluarga yang harus diberi makan, anak-anak yang harus disekolahkan, dan kebutuhan sehari-hari yang harus dipenuhi. Itu sebabnya, setiap kebijakan yang menyangkut Malioboro selalu menjadi isu sensitif.
Ketika wacana relokasi pedagang muncul, misalnya, gelombang penolakan segera datang.
Bagi mereka, berjualan di Malioboro bukan sekadar mencari nafkah, tetapi juga mempertahankan sejarah dan budaya berjualan yang sudah mengakar sejak puluhan tahun lalu.