Program Guru Penggerak (PGP) yang diluncurkan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) pada awalnya bertujuan untuk menghasilkan guru-guru yang tidak hanya kompeten dalam mengajar, tetapi juga mampu menjadi pemimpin pembelajaran di kelas.
Dengan pendekatan yang berfokus pada pengembangan karakter kepemimpinan, program ini diharapkan dapat menciptakan lingkungan belajar yang lebih baik dan mendukung perubahan positif di dalam kelas.
Namun, dengan adanya perubahan kebijakan yang menjadikan PGP sebagai program yang mempersiapkan calon kepala sekolah (KS) dan calon pengawas sekolah, arah dan esensi dari program ini kini dipertanyakan.
Banyak guru yang awalnya mengharapkan bahwa program Guru Penggerak akan mengasah kemampuan mereka sebagai pemimpin di kelas, merasa bahwa mereka kini dipersiapkan untuk jabatan struktural yang lebih tinggi, sebuah langkah yang mengalihkan perhatian dari tujuan semula.
Hal ini menimbulkan ketegangan, karena semakin banyak guru yang merasa mereka tidak memiliki kesempatan yang setara untuk maju, terutama mereka yang tidak tergabung dalam program tersebut.
Polemik ini semakin memuncak ketika muncul ketidakpastian mengenai mekanisme pelaksanaan perubahan tersebut yang hingga kini belum jelas.
Meski demikian, jika perubahan ini dikelola dengan bijak, maka Guru Penggerak yang bertransformasi menjadi calon pemimpin sekolah berpotensi memberikan dampak positif bagi pendidikan Indonesia.
Pengalaman dan pembelajaran yang telah diperoleh dalam pengembangan pembelajaran berbasis kepemimpinan di kelas akan menjadi bekal yang sangat berharga bagi mereka yang nantinya dipercaya untuk memimpin sekolah.
Namun, apabila perubahan ini dipandang sebagai jalur eksklusif menuju jabatan struktural, maka dapat timbul dikotomi yang justru merugikan. Bukan hanya membuat gap antar guru semakin lebar, tetapi juga dapat mengikis semangat mereka yang merasa terpinggirkan.
Dalam menghadapi tantangan ini, yang terpenting adalah kejelasan tujuan dan mekanisme perubahan yang harus dikomunikasikan secara terbuka kepada seluruh pihak.
Dengan transparansi yang lebih baik, kecemasan dan ketidakpuasan di lapangan dapat dikurangi, sehingga program ini tetap dapat mencapai tujuannya untuk mencetak pemimpin pendidikan yang berkualitas.