Lihat ke Halaman Asli

Tundung Memolo

Kepala Sekolah, CEO Litbang Indomatika, Tentor/Pembimbing Olimpiade Matematika, penulis, dll

Jangan Boring Bicarakan Bullying

Diperbarui: 24 Januari 2025   14:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Bullying di lingkungan sekolah merupakan masalah serius yang memiliki dampak jangka panjang, baik bagi korban, pelaku, maupun saksi. Fenomena ini tidak hanya merugikan secara individu, tetapi juga menciptakan lingkungan pendidikan yang tidak sehat. Bullying dapat terjadi dalam berbagai bentuk, seperti kekerasan fisik, verbal, sosial, atau bahkan cyberbullying, yang semakin meningkat seiring dengan perkembangan teknologi. Data dari UNESCO menunjukkan bahwa satu dari tiga siswa di seluruh dunia pernah menjadi korban bullying setidaknya sekali dalam sebulan, sebuah angka yang mencerminkan betapa meluasnya masalah ini.

Dampak bullying terhadap korban sangat signifikan. Anak-anak yang menjadi korban sering mengalami penurunan rasa percaya diri, gangguan kecemasan, depresi, bahkan dalam beberapa kasus dapat memicu pikiran untuk bunuh diri. Penelitian yang dilakukan oleh World Health Organization (WHO) menunjukkan bahwa anak-anak yang menjadi korban bullying memiliki risiko dua kali lebih besar untuk mengalami masalah kesehatan mental dibandingkan mereka yang tidak pernah dibully. Selain itu, prestasi akademik korban sering kali menurun karena sulit berkonsentrasi atau bahkan takut untuk pergi ke sekolah.

Tidak hanya korban, pelaku bullying juga menghadapi konsekuensi jangka panjang. Anak-anak yang terbiasa melakukan tindakan intimidasi berpotensi mengembangkan pola perilaku agresif yang dapat berlanjut hingga dewasa. Mereka lebih rentan terlibat dalam tindakan kriminal atau kekerasan di kemudian hari. Dari sudut pandang sosial, pelaku sering kali mengalami kesulitan dalam membangun hubungan yang sehat dan penuh empati dengan orang lain.

Lingkungan sekolah yang dipenuhi bullying juga merugikan saksi yang menyaksikan tindakan tersebut. Anak-anak yang menjadi saksi bullying sering merasa tidak berdaya dan khawatir mereka akan menjadi target berikutnya. Hal ini menciptakan suasana takut dan tidak aman di sekolah, yang pada akhirnya menghambat proses pembelajaran secara keseluruhan.

Untuk mengatasi masalah ini, peran aktif dari semua pihak sangat diperlukan, mulai dari guru, orang tua, hingga pemerintah. Penerapan program pendidikan karakter yang menanamkan nilai-nilai empati dan toleransi, seperti yang ditekankan dalam kurikulum Merdeka Belajar di Indonesia, menjadi salah satu solusi penting. Selain itu, sekolah perlu memiliki kebijakan anti-bullying yang jelas dan tegas, termasuk pelatihan bagi tenaga pendidik untuk mendeteksi dan menangani kasus bullying secara efektif.

Bullying bukanlah masalah yang bisa diabaikan. Untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang inklusif dan aman, diperlukan upaya bersama yang berkelanjutan. Anak-anak berhak mendapatkan lingkungan belajar yang mendukung pertumbuhan mereka, baik secara intelektual maupun emosional.
Kasus bullying sering kali mencerminkan ketimpangan kekuasaan dan kurangnya empati di antara individu, terutama di lingkungan sekolah. Sebagai contoh, bayangkan seorang siswa bernama Dika yang baru pindah ke sekolah baru. Dika dikenal sebagai anak pendiam dan memiliki logat bicara yang berbeda karena berasal dari daerah lain. Di kelas, beberapa teman sebayanya mulai mengejek cara bicaranya, menirukan logatnya dengan nada mengejek, bahkan menyebutnya "anak kampung".

Awalnya, Dika hanya diam dan menerima perlakuan itu dengan harapan situasinya akan membaik. Namun, ejekan tersebut semakin meluas hingga ke media sosial, di mana teman-teman sekelasnya membuat meme tentang dirinya. Akibatnya, Dika merasa malu, tertekan, dan kehilangan rasa percaya diri. Ia mulai enggan ke sekolah dan kerap mengurung diri di kamar.

Situasi ini memperlihatkan bahwa bullying tidak hanya terjadi secara langsung, tetapi juga dapat meluas ke dunia digital, yang memperburuk dampaknya. Kasus seperti ini menyoroti perlunya pendekatan positif dari guru, orang tua, dan teman sebaya untuk menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung. Dengan memberikan pendidikan tentang empati, menghargai keberagaman, dan mendorong komunikasi yang sehat, kita bisa mencegah terjadinya kasus serupa di masa depan.

Menurut saya, tindakan bullying seperti ini seharusnya ditangani dengan serius melalui pendekatan kolaboratif, melibatkan konseling, sanksi tegas untuk pelaku, dan pemulihan rasa aman bagi korban. Selain itu, sekolah dan masyarakat perlu terus mengedepankan program anti-bullying untuk membangun budaya saling menghormati di lingkungan sekolah.
Sebuah laporan dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada tahun 2023 menunjukkan bahwa terdapat 226 kasus bullying yang dilaporkan sepanjang tahun tersebut. Salah satu kasus menonjol terjadi di sebuah SMP di Jawa Barat, di mana seorang siswa bernama Andi (bukan nama sebenarnya) menjadi korban perundungan fisik dan verbal oleh teman-teman sekelasnya.

Andi, yang memiliki tubuh lebih kecil dibandingkan teman-temannya, sering menjadi sasaran lelucon kasar dan ejekan. Awalnya, ia hanya diejek karena dianggap "lemah" saat pelajaran olahraga. Namun, hal ini meningkat menjadi tindakan kekerasan fisik, seperti ditendang dan dipukul saat istirahat. Beberapa siswa bahkan merekam aksi tersebut dan menyebarkannya di media sosial.

Akibatnya, Andi mengalami trauma psikologis dan sering menangis saat harus pergi ke sekolah. Orang tuanya baru menyadari situasi ini setelah melihat luka memar di tubuh Andi dan mendengar kabar video viral dari tetangga. Kasus ini kemudian dilaporkan ke pihak sekolah dan KPAI.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline