Lihat ke Halaman Asli

Tujuan Nasional: Antara Konstitusi dan Globalisasi

Diperbarui: 24 Juni 2015   03:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Tujuan nasional bangsa Indonesia tercantum dalam teks pembukaan UUD 1945 alinea 4, yakni melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Pertanyannya, apakah tujuan nasional tersebut sudah tercapai atau hanyakah sekedar pelengkap dalam teks pembukaan UUD 1945 semata? Pada dasarnya, Republik Indonesia didirikan atas semangat antikolonialisme dan antiimperialisme. Pancasila (landasan ideal) dan UUD 1945 (landasan konstitusional) dibuat juga atas semangat tersebut. Oleh karena itu, kebijakan-kebijakan ekonomi pada masa awal-awal kemerdekaan cenderung lebih ke arah sosialisme

Perang dingin antara blok barat (sosialisme-komunisme) dan blok barat (liberalisme), yang mana paham liberalisme jauh lebih dominan menguasai dunia sehingga menyebabkan suatu tatanan dunia yang baru. Terlebih dengan adanya globalisasi yang menyebabkan paham liberalisme sangat berkembang. Hal ini terbukti dengan tumbangnya rezim sosialisme-komunisme di seluruh dunia. Di Indonesia, paham liberalisme ini mulai masuk dan mengakar dalam pemerintahan. Bahkan, paham ini menjadi mindset dari para teknokrat di negeri ini sehingga kebijakan ekonomi tak sedikit yang keluar dari koridor konstitusi. Hal ini tanpa kita sadari karena memang ada “pembenaran” dari para pemimpin bangsa ini selama lebih dari 50 tahun. Oleh karena itu, tujuan nasional bangsa Indonesia bisa dikatakan sudah melenceng dari apa yang dikemukakan oleh founding fathers kita. Apalagi, sistem ekonomi yang kita anut saat ini dianggap gagal untuk menyejahterakan rakyat secara keseluruhan.

Pembangunan yang mereka laksanakan seringkali terfokus hanya pada bidang ekonomi, dengan sasaran utama meningkatkan produksi dan pendapatan, dan jarang memperhatikan faktor manusia sebagai subyek. Dalam praktik sering kita jumpai martabat manusia merosot hingga sekedar menjadi alat untuk mencapai tujuan ekonomi. Lebih ironis lagi, pembangunan di bidang ekonomi ini tidak menjamin terwujudnya perbaikan ekonomi masyarakat secara merata. Dua hal yang menjadi penyebabnya adalah: pertama, pembangunan ekonomi itu hanya mengutamakan pertumbuhan. Kedua, tidak efisiennya sistem birokrasi yang dikembangkan oleh pemerintah. Ketidakefisienan ini telah menimbulkan kesenjangan dalam kepemilikan akses atas pembangunan. Dengan kata lain, hanya individu-individu atau kelompok masyarakat tertentu yang menikmati hasil pembangunan tersebut.

Selain masalah mindset para ekonom kita yang “salah arah”, kebijakan ekonomi negara kita lebih didominasi oleh kepentingan-kepentingan politik. Misalnya saja, kebijakan energi. Yang patut disayangkan dari kebijakan energi kita, khususnya yang terkait dengan penetapan harga BBM bersubsidi adalah kenapa dulu ketika harga BBM sudah naik menjadi Rp 6.000,- diturunkan lagi menjadi Rp 4.500,- di awal tahun 2009. Alasannya, harga minyak dunia turun dan agar mengurangi penderitaan rakyat. Akan tetapi, bebarapa bulan kemudian penurunan harga BBM yang sampai 3 kali sudah menjadi tagline oleh partai politik penguasa. Ini merupakan motif politis. Padahal, rakyat sudah mulai menyesuaikan diri dengan keadaan ekonomi saat itu. Katakanlah, laju inflasi sudah bisa dikontrol. Jadi, apabila harga BBM diturunkan, dampaknya sebenarnya juga tidak terlalu besar. Contoh lainnya adalah pengumuman harga BBM. Ketika ada pengumuman harga BBM turun, presiden kita yang mengumumkan secara langsung, akan tetapi ketika ada pengumuman kenaikan harga BBM, yang mengumumkan justru menteri/bawahannya. Presiden seakan-akan “cuci tangan”. Hal-hal semacam ini sudah sangat sering terjadi. Itu menandakan bahwa kebijakan ekonomi kita selama ini semata-mata bukan untuk kesejahteraan rakyat, akan tetapi demi mencari popularitas dan agar seolah-olah dikira prorakyat.

Bagaimana mencari jalan keluar dari kondisi seperti saat ini? Di satu sisi, kita ingin kembali ke konstitusi yang menekankan pada keadilan sosial, di sisi lain, kita juga harus menerima kenyataan bahwa saat ini kita hidup di era globalisasi. Jawabannya adalah kemandirian ekonomi. Konsep kemandirian ini sebenarnya adalah “jalan tengah” bagi perekonomian bangsa ini. Untuk mewujudkan kemandirian ekonomi ini, pemerintah harus membuat beberapa kebijakan penting. Contohnya adalah kebijakan subsidi. Subsidi adalah hak bagi rakyat Indonesia, meskipun demikian harus diakui bahwa subsidi ini lama-lama bisa menjadi “racun” bagi bangsa ini karena akan menyebabkan rasa ketergantungan terhadap subsidi tersebut sehingga bangsa ini tidak akan mandiri secara ekonomi, apalagi saat ini kita hidup di era globalisasi. Oleh karena itu, sedikit demi sedikit, kita harus mengurangi subsidi yang selama ini telah menjadi beban keuangan negara ini. Alangkah lebih baik jika anggaran subsidi ini digunakan sebagai “kail” bagi wirausahawan maupun sektor industri sehingga lebih produktif. Tapi, apakah semudah itu? Tentu tidak. Peristiwa demo kenaikan BBM beberapa waktu lalu menjadi cerminan bahwa isu seperti ini sangat sensitif bagi rakyat. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, mereka menolak keras adanya pengurangan subsidi tersebut karena saat ini kita di tengah kondisi perekonomian yang tak menentu, sistem penegakan hukum yang lemah dan maraknya kasus korupsi. Oleh karena itu, pemerintah secara perlahan-lahan harus memperbaiki sistem penegakan hukum terlebih dahulu sebelum membuat kebijakan yang kurang popular.

Kesimpulannya, kemandirian ekonomi itu berarti kita boleh "bergaul" dengan asing, tapi tidak boleh didikte oleh asing. Kemandirian ekonomi itu berarti kita harus lebih cinta dan bangga dengan produk buatan dalam negeri. Kenyataannya, saat ini, sebagian besar dari kita lebih doyan terhadap segala sesuatu yang berbau impor, karena dalam mindset kita semua yang berbau impor itu selalu lebih bagus. Bayangkan saja, jika misalnya mobil dinas presiden kita menggunakan mobil Esemka buatan anak bangsa. Bayangkan saja, jika ibu negara kita ketika kunjungan kenegaraan menggunakan tas buatan UKM dalam negeri. Bayangkan saja, jika pejabat dan menteri menggunakan sepatu buatan industri kecil dan rumahan. Ya, semuanya harus dimulai dari hal-hal yang sederhana hinggan nanti akhirnya suatu saat hal-hal yang sederhana ini akan menjadi kekuatan yang luar biasa yng dimiliki oleh bangsa ini. Sehingga salah satu cita-cita founding fathers kita, yakni BERDIKARI (berdiri di atas kaki sendiri) dalam bidang ekonomi benar-benar bisa terwujud dan tidak lagi menjadi cita-cita dan mimpi saja. Sebagai penutup, saya ucapkan selamat tahun baru 2014! Semoga tahun depan negeri ini menjadi jauh lebih baik dan mendapat pemimpin yang mau dan mampu mengemban amanat konstitusi kita. Aamiin.

- @tundjung17 -




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline