Lihat ke Halaman Asli

TUN SAMUDRA

Laki-Laki

Revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang KPK: Mungkinkah Sebagai Wadah Perlindungan Terhadap Koruptor?

Diperbarui: 17 Februari 2016   20:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Wacana tentang revisi Undang-Undang KPK kini makin menghangat, besok, 18 Februari 2016 akan di bahas mengenai penetapan revisi UU KPK. walaupun rencana revisi Undang- Undang KPK ini telah dipersoalkan beberapa waktu yang lalu, baik pro maupun Kontranya, namun pada akhirnya revisi itu kemungkinan akan tercapai melihat suana serta dinamika politik utamanya di Parlemen pada esok hari, kita perlu menyadari bahwa nuansa politik adalah mutlak dalam keandilannya mempengaruhi segala kebijakan-kebijakan pihak yang berkepentingan.

Namun yang paling sering masuk ke telinga masyarakat adalah pernyataan yang menyatakan bahwa Revisi Undang-Undang KPK ini semata mata untuk menghindari hal-hal yang pernah terjadi di masa lalu yang merugikan KPK, sebut saja kasus Cicak Versus buaya yang sampai terjadi 2 episode, kemudian ada juga wacana dari para petinggi – petinggi negara bahwa jika untuk memperkuat KPK maka silahkan di revisi namun jika untuk memperlemah maka janganlah di revisi. Sebuah statement yang sepertinya dapat membuat masyarakat agak lega. Sehingga akan bisa menerima jika yang direvisi dari UU KPK adalah berkaitan dengan penguatan KPK.

Ada juga beberapa tokoh yang menolak keras mengenai wacana revisi Undang-Undang KPK, sebut saja SBY dan Prabowo yang merupakan ketua umum dari kedua partai yang terhimpun dalam bentuk fraksi di DPR, Fraksi partai Gerindra dan Fraksi Partai Demokrat menyatakan menolak revisi Undang-Undang KPK, yang pastinya pernyataan sikap dari kedua fraksi tersebut adalah telah ada persetujuan maupun instruksi dari Prabowo Subianto dan SBY.

Namun sepertinya tidak ada guna setinggi-tingginya pengaruh seorang Figur, sekalipun menolak keras namun sayangnya tidak mampu berbuat apa-apa mengingat suara mayoritas diparlemen ada di dalam genggaman penguasa. Dan sudah bisa dipastikan mengingat saat ini hanya Gerindra saja yang menyatakan menolak Revisi Undang-Undang ini walaupun baru-baru ini telah di dukung oleh Partai Demokrat, namun belum menjadi suara mayoritas yang memungkinkan jika terjadi Voting akan tetap menjadi minoritas.

Apabila kita mencermati mengenai revisi Undang-Undang KPK ini, ada 4 point yang akan di revisi, yaitu mengenai penyadapan yang sebelumnya adalah kewenangan KPK sendiri nantinya harus ada izin dari Ketua Pengadilan, soal pengangkatan penyelidik dan penyidik, soal kewenangan KPK mengeluarkan SP3 dan soal pembentukan Dewan Pengawas KPK.

Merujuk dengan point-point tersebut, sepertinya terjadi polemik yaitu disatu sisi ada hal penguatan KPK disatu sisi pula ada upaya pelemahan KPK di sini, yaitu mengenai penyadapan yang harus melalui persetujuan Ketua Pengadilan. Hal ini sebenarnya sangatlah tidak tepat, apalagi baru-baru ini KPK telah berhasil melakukan OTT terhadap Kasubdit Perdata MA, mengingat pula sangat banyaknya kasus Korupsi yang melibatkan para oknum-oknum Pengadilan dari yang terendah sampai yang tertinggi, walaupun tampaknya semua oknum Pengadilan yang terlibat hampir rata-rata semua adalah petinggi,

sebut saja Heru Kosbandono (Hakim Khusus pengadilan tipikor Pontianak), Sistoyo ( Jaksa Senior di Kejaksaan Negeri Cibinong ). Imas Dianasari ( Hakim khusus Pengadilan Hukum Industrial Bandung ), Syarifuddin ( Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat), kemudian di tahun 2015 kemarin terkait dengan kasus OTT OC Kaligis juga menjerat 3 Hakim PTUN dan Panitera. Disamping itu OTT yang berhasil dilakukan oleh KPK juga telah banyak mengungkap Kasus Korupsi, yaitu Kasus Suap Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar, dan Kepala Kejaksaan Lombok tengah.

juga yang perlu dipahami kasus –kasus Korupsi yang menjerat para Hakim, Jaksa, maupun Oknum penegak Hukum lainnya adalah terhadap kedudukan Penyadapan, kedudukan penyadapan adalah sangat penting dalam mengungkap Kasus Korupsi, karena apabila dilakukan secara sembunyi-sembunyi bisa dibayangkan bahwa sangat sukarnya untuk dapat membuktikannya, sedangkan melalui penyadapan sangat membantu KPK untuk dapat mengetahui seorang yang terkait dengan indikasi Korupsi,

mengingat juga bahwa banyaknya kegiatan Korupsi yang meraja rela di Indonesia ini sangatlah tidak mungkin KPK bekeja tanpa Penyadapan, karena jika tetap UU KPK di revisi dan menetapkan bahwa penyadapan harus melalui izin Ketua Pengadilan maka sama itu bukan lagi penyadapan dan kemungkinan akan adanya tebang pilih dalam memberi izin penyadapan yang pastinya akan ada unsur intervensi terhadap ketua pengadilan oleh yang berkepentingan dan pastinya mempunyai pengaruh di dalam pemerintahan.

Beberapa alasan yang dilontarkan para pihak yang terkait dengan peng-revisian UU KPK tersebut bahwa karena selama ini KPK dalam menjalankan Undang-Undang adalah semena-mena dalam penyadapan, namun menurut penulis itu bukan masalah, yang terpenting adalah penyelamatan terhadap uang negara, proses adalah belakangan, memang siapa yang bisa menjamin bahwa jika penyadapan harus dengan izin Ketua Pengadilan akan tetap menjaga eksistensi KPK dalam mengungkap kasus Korupsi, bisa saja yang dengan penyadapan langsung KPK dapat mengungkap 10 kasus, ketika dengan izin Ketua Pengadilan akan menjadi tinggal 3 kasus saja, yang 7 itu selamat.

Jadi bisa di pastikan bahwa revisi ini bukannya memperkuat malahan akan melehmakan, akan semakin membuat para oknum-oknum berani dalam melakukan Korupsi, lihatlah, KPK saja seperti ini masih banyak oknum yang melakukan korupsi, apalagi jika telah direvisi akan semakin bertambah dan bertambah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline