Sekitar dua tahun belakangan ini berkembang dalam pergaulan sehari-hari istilah KEPO. Sebutan yang sering dilekatkan kepada orang-orang yang ingin tahu tentang sesuatu (lebih sering ingin tahu mengenai urusan orang lain), sehingga tidak jarang kalau stigma negatif juga ikut melekat pada orang-orang yang dicap KEPO ini. Istilah KEPO sendiri merupakan akronim dari Knowing every Particular Object awalnya merupakan sebutan bagi orang yang serba tahu detail tentang sesuatu. Setiap tanggal 28 September diperingati sebagai Hari Hak untuk Tahu yang mulai diperingati secara internasional sejak tahun 2002 di Sofia, Bulgaria dalam suatu pertemuan internasional para pembela hak akses atas informasi publik. Saat itu mereka menyepakati ada satu hari yang didedikasikan untuk mempromosikan hak kebebasan memperoleh informasi ke seluruh dunia. Tujuannya adalah untuk memunculkan kesadaran global akan hak individu dalam mengakses informasi pemerintahan dan mengampanyekan bahwa akses terhadap informasi ini adalah bagian dari hak dasar manusia. Di Indonesia Undang Undang Dasar (UUD) Republik Indonesia 1945 (amandemen) pada pasal 28F sudah memberikan hak atas informasi sebagaimana tertuang jelas ; ’’Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi denggan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia’’. Menurut Ketua Komisi Informasi Pusat, di Indonesia saat ini kurang dari 30 persen masyarakat yang mengetahui apa itu keterbukaan informasi publik, Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID), UU Keterbukaan Informasi Publik, dan Komisi Informasi. Menurut penulis, hal ini terjadi karena pemerintah masih setengah hati untuk membuka informasi publik, di samping juga masyarakat yang kurang peduli serta kurang merasakan manfaat dari keterbukaan informasi, dan pastinya kurang sosialisasi. Jika kita perhatikan, anggota masyarakat yang paling kritis dan selalu ingin tahu adalah anak-anak. Penelitian di Inggris yang dilakukan sebuah toko retail online baru-baru ini yang melibatkan 1.000 ibu dan anaknya yang berusia 2 - 10 tahun, diperoleh fakta bahwa semakin besar seorang anak pertanyaan yang diberikan memang semakin sedikit tetapi juga semakin sulit, dalam sehari para ibu di sana bisa dibombardir sekitar 300 pertanyaan dari anaknya dalam sehari. Selain itu, anak perempuan usia empat tahun memasuki fase yang paling penasaran yang bisa memberikan pertanyaan sebanyak 390 kali pada ibunya dalam sehari ! Selama 12 jam, dari sarapan hingga waktu minum teh waktu sore hari, para ibu di Inggris harus siap mendengar pertanyaan dari buah hatinya setiap dua menit 36 detik sekali, jika dirata-rata. Umumnya pertanyaan dilontarkan anak pada waktu makan, setelah itu waktu jalan-jalan, dan di saat dibacakan cerita sebelum tidur. Uniknya, sebanyak 82 persen anak cenderung suka bertanya pada ibunya terlebih dahulu daripada ayah. Sebab 24 persen dari anak tersebut mengaku jika bertanya pada ayah, jawabannya selalu sama, "Tanyakan pada ibumu !", dan sembilan dari sepuluh ibu dalam penelitian itu berusaha mencari jawaban dari pertanyaan anaknya dengan browsing di Google. Di Indonesia sendiri, perempuan pengguna internet diprediksi pada tahun 2014 nanti akan ada kenaikan lebih dari 10 persen, paling banyak berasal dari kalangan profesional dan diikuti ibu rumah tangga yang memanfaatkan internet untuk membantu produktivitas mereka (600 responden). Dalam lima tahun belakangan ini semenjak diberlakukannya Sistem Penerimaan Siswa Baru (SD-SMP-SMA) secara online, membawa dampak positif pada ibu-ibu rumah tangga. Orang tua, khususnya ibu-ibu mau tidak mau harus menemani putra-putrinya dalam memantau jurnal nilai di internet yang urutannya selalu berubah setiap saat. Sewaktu dulu saya mendapat kuliah kepemimpinan, di kelas sering diberi pertanyaan dari dosen psikologi “Apakah pemimpin itu dilahirkan atau dibentuk oleh lingkungan ?” Dengan mudah teman-teman sekelas menjawab “dibentuk oleh lingkungan”. Sudah jelas bahwa seseorang tidak bisa menjadi pemimpin jika tidak dilahirkan. Mungkin maksudnya di sini adalah memiliki bakat bawaan dari lahir menjadi pemimpin. Namun seseorang yang berbakat menjadi pemimpin tetapi tidak diasah kemampuannya, atau tidak diberi kesempatan untuk mengembangkan kemampuannya itu, akan tetap memendam bakatnya yang dibawa hingga akhir hayat. Di sini letak pentingnya seorang ibu dalam menggali potensi buah hatinya, seperti ungkapan Julius Nyerere, Presiden Tanzania yang memerintah 1964-1985, “Jika engkau mendidik satu orang laki-laki maka akan menghasilkan satu orang terdidik, tetapi apabila engkau medidik satu orang perempuan maka akan menghasilkan satu generasi terdidik.” Karena ibu merupakan pemegang kunci keberhasilan pemimpin cilik di era informasi ini yang akan membentuk masyarakat sadar informasi di masa depan. Hal ini seperti pernah dingkapkan oleh mantan Sekjen PBB, “Pengetahuan adalah kekuatan. Informasi adalah kebebasan. Pendidikan adalah premis kemajuan, dalam setiap masyarakat, dalam setiap keluarga” (Kofi Annan). Melalui peringatan Hari Hak untuk Tahu (Rigth to Know Day) mari kita berdayakan para Ibu untuk dapat mengakses informasi untuk mempersiapkan pemimpin masa depan. Sumber : http://ppid.kominfo.go.id/2011/09/28/hak-untuk-tahu/ http://www.beritametro.co.id/opini/renungan-11-tahun-hari-hak-untuk-tahu-internasional-1 m.beritajakarta.com/home/read/56284/detail m.antaranews.com/berita/370678/perempuan-pengguna-internet-di-indonesia-2014-naik-10-persen
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H