Lihat ke Halaman Asli

KPK: Lembaga Superbody/Superbodong?

Diperbarui: 25 Juni 2015   05:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

KPK: Lembaga Superbody / Superbodong?

Oleh: Tulus H Pardosi

Muhammad Nazaruddin, Mindo Rosalina Manulang, dan Angelina Sondakh. Nama-nama tersebut mungkin sudah tidak asing lagi baik kita dan bahkan kerap kali menghiasi pemberitaan baik di Media Cetak maupun Media Elektronik. Selain nama-nama itu, ada pula nama-nama lain yang akhirnya sampai menyeret para petinggi Negara ini, terutama para politisi Partai Demokrat. Sebut saja Anas Urbaningrum dan isterinya, Andi Malarangeng, dan bahkan nama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sampai ikut terseret dalam rangkaian lingkaran setan ini.

Dimulai dengan pemidanaan selama 4 tahun 10 bulan yang dilakukan oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi beberapa waktu lalu, KPK nampaknya mulai melirik nama-nama lain yang akan dijadikan Tersangka bahkan Terdakwa. Tanpa menunggu lama, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun menjatuhkan Penetapan Tersangka kepada Angelina Sondakh.

Banyak Pro dan Kontra seputar penetapan status Tersangka terhadap Mantan Putri Indonesia ini. Segala spekulasi pun muncul terkait perkara ini yang diantaranya adalah:

Proses Penetapan Tersangka Angelina Sondakh

Mari kita telaah proses ini dari sudut pandang yang berbeda. Jika melihat secara murni, tindakan yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan menetapkan Angie sebagai Tersangka, sudah tepat. Dengan penetapan sebagai tersangka, maka KPK dapat melakukan penahanan terhadap Angie dan membatasi ruang geraknya. Selain itu, KPK juga dapat dengan mudah mengawasi gerak-gerik Angie selama dalam tahanan. Artinya, jika melihat dengan Hati yang murni dan jika masih ada kepercayaan di bangsa ini, penetapan Angie sebagai Tersangka merupakan suatu langkah baik yang dilakukan oleh KPK.

Namun, coba kita kritisi proses penetapan tersangka Angelina Sondakh jika dilihat dari sudut pandang yang berbeda:

1.Mari kita lihat Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP (selanjutnya disebut KUHAP):

“Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.”

Dari pengertian di atas, dapat dilihat bahwa penyidikan merupakan suatu rangkaian proses untuk mengumpulkan bukti guna membuat terang perkara dan menentukan siapa tersangkanya. Dalam perkara Angie, penetapan tersangka dilakukan bahkan sebelum bukti-bukti yang dikumpulkan telah cukup. Selain itu, masih diadakan pula pemeriksaan saksi-saksi yang dilakukan bahkan setelah penetapan tersangka dilakukan. Jadi, apakah mungkin, seseorang ditetapkan menjadi tersangka terlebih dahulu, baru mencari dan mengumpulkan bukti-buktinya?

Awalnya, saya mengira hal ini hanya dapat dilakukan jika tersangka tertangkap tangan (contoh: kasus pembunuhan yang dilakukan di depan umum). Namun, ketika saya mengobrol dengan seorang kawan yang berasal dari Kepolisian, dia mengatakan bahwa hanya dengan bukti permulaan yang cukup saja, dapat dilakukan penetapan Tersangka. Dan perlu diingat pula, bahwa Bukti Permulaan ini tidak memiliki ukuran. Untuk mengetahuinya apakah proses ini sudah tepat atau belum harus dilakukan melalui Pra Peradilan. Pertanyaan berikutnya, bagaimana jika dalam Pra Peradilan pihak Angie menang? Bagaimana dengan proses selanjutnya? Apakah perkara ini hanya berhenti di Pra Peradilan dan tidak akan menyentuh nama-nama lain? Apakah KPK tidak memikirkan hal ini ataukah KPK memang sudah membuat Skenario ini?

2.Status Tersangka, membuat seseorang dapat didampingi Kuasa Hukum dalam setiap tingkat pemeriksaaan.

Proses Penetapan status Tersangka kepada seseorang, membuat orang tersebut BERHAK didampingi oleh Kuasa Hukum dalam tiap tingkat pemeriksaan (Pasal 54 KUHAP) dan menjadi WAJIB terhadap perkara yang memiliki ancaman pidana di atas 5 (lima) tahun (Pasal 56 ayat (1) KUHAP). Saya yakin bahwa KPK mengetahui hal ini. Bukankah jika Angie ditetapkan menjadi Tersangka dan akhirnya didampingi oleh Kuasa Hukum, hal ini malah akan menyulitkan KPK dalam melakukan penyidikan? Bukankah jika Angie tetap menjadi Saksi, KPK akan mudah menyidik Angie karena tidak “dibisiki” atau “diajari” oleh Kuasa Hukum.

Sekali lagi saya bertanya, apakah memang KPK tidak memikirkan hal ini atau apakah memang ada scenario lain dibalik semua ini?

Justice Collaborator

Selainproses penetapan Tersangka yang menuai berbagai controversial, ternyata KPKjuga menimbulkan perdebatan lain dengan memberi tawaran kepada Angelina Sondakh sebagai Justice Collaborator. Istilah Justice Collaborator memang masih asing di kalangan para penegak hokum di Indonesia. Istilah ini pun berbeda dengan Whistle Blower yang sempat marak terdengar pada saat penanganan perkara Pajak oleh Terpidana Gayus Halomoan Tambunan.

Whistle Blower dapat dikatakan sebagai orang atau oknum yang memberikan sebuah pengungkapan tentang suatu kesalahan yang terjadi dalam suatu organisasi atau badan yang biasanya berasal dari organisasi yang sama. Kesalahan yang diungkapkan dapat diklasifikasikan dalam banyak cara, misalnya, pelanggaran hukum, aturan, peraturan dan  atau ancaman langsung dengan kepentingan umum, seperti penipuan, kesehatan atau  keselamatan pelanggaran, dan korupsi. Istilah tersebut berasal dari praktek petugas polisi Inggris, yang akan meniup peluit ketika mereka melihat komisi kejahatan. Peluit akan memberitahu aparat penegak hukum lainnya dan masyarakat umum dari bahaya.

Cara kerja Whistle Blower bisa berefek kedalam maupun ke luar. Pertama, secara internal, whistleblower melaporkan kesalahan kepada sesama karyawan atau atasan di dalam perusahaan mereka. Kedua secara ekternal, Whistle Blower bisa juga melaporkan  kesalahan kepada orang atau badan di luar. Dalam kasus ini, tergantung pada keparahan dari informasi tersebut, Whistle Blower dapat melaporkan penyalahgunaan untuk pengacara, media, penegak hukum atau badan pengawas dan sebagainya.

Secara mudah, Whistle Blower dapat diartikan sebagai pengungkapan terhadap suatu perkara yang dilakukan oleh seseorang yang juga memiliki keterlibatan dalam perkara tersebut namun belum memiliki status Tersangka dan masih sebagai saksi. Kesediaan Whistle Blower ini pun akan dimahkotai dan disebut sebagai saksi mahkota / kroongeutige yang bahkan dapat menghapus pertanggungjawaban pidana orang tersebut.

Berbeda dengan Justice Collaborator yang secara mudah dapat diartikan sebagai “Persekongkolan” antara Tersangka / Terdakwa dengan Penyidik untuk mengungkap suatu perkara dengan “iming-iming” bahwa si Tersangka/Terdakwa akan dijatuhi putusan yangringan dalam persidangan di pengadilan nanti. Ada 2 (dua) masalah terhadap rencana penerapan Justice Collaborator ini:

1.Belum adanya payung hukum yang mengatur bagaimana pelaksanaan dari Justice Collaborator ini. Sebenarnya, bagaimana cara pelaksanaan system ini dan apakah jaminan bahwa setiap Tersangka/Terdakwa yang bersedia menjadi Justice Collaborator benar-benar dapat peringanan Hukuman?

2.Tersangka/Terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian (Pasal 66 KUHAP).

3.Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri. (Pasal 189 ayat (3) KUHAP).

4.Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertal dengan alat bukti yang lain. (Pasal 189 ayat (4) KUHAP)

Hukum acara pidana di Indonesia tidak mengenal “Pengakuan” sebagai alat bukti seperti di dalam Herziene In Reglement (HIR). Alat bukti dalam hukum acara pidana tertera dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP yang terdiri dari: Keterangan Saksi, Keterangan Ahli, Keterangan Terdakwa, Surat, dan Petunjuk.

Untuk itu, sekali pun Terdakwa telah mengakui perbuatannya tidak semata-mata langsung dapat dinyatakan bersalah. Tetap harus disertai alat bukti yang untuk menemukan petunjuk bagi sifat melawan hokum perbuatan yang dilakukan oleh Terdakwa.

5.Justice Collaborator melanggar Independensi Hakim.

Sebelumnya mari kita melihat ketentuan-ketentuan berikut ini:

“Mengadili adalah serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.”(Pasal 9 butir 1 UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP)

“Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan.” (Pasal 24 ayat (1) UUD 1945)

Jaminan konstitusional (constitutional independence) ini diimplementasikan melalui UU No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan terhadap UU No. 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman. Penjelasan Pasal 1 UU No. 4/2004 mengartikan kebebasan kekuasaan kehakiman sebagai bebas dari segala campur tangan pihak kekuasaan ekstra yudisial, kecuali dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam UUD 1945” (Pasal4 Ayat (3) UU No. 4 Tahun 2004). Kekuasaan lain dilarang menghentikan proses ataupemeriksaan perkara yang sedang berlangsung maupun mempengaruhi putusanyang akan dijatuhkan oleh hakim. Secara tegas dinyatakan dalam Ayat (4), bahwa “Setiap orang yang sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada Ayat (3) dipidana.”

Tampak bahwa kemerdekaan kekuasaan kehakiman lebih ditekankan sebagai kebebasan hakim dan lembaga yudikatif dalam menegakkan hukum dan keadilan atau di ranah teknis-yustisi. Berarti, pertama, pembatasan terhadap kekuasaan kehakiman hanya dapat ditentukan di tingkat konstitusi dan tidak boleh ditentukan hanya dengan undang-undang. Kedua, yudikatif tidak bebas di ranah non-yustisi (kepegawaian, administrasi, anggaran). Independensi itu berlaku atas pribadi hakim maupun lembaga pengadilan.

Selain itu, Marc Loth, seorang Hakim pada Mahkamah Agung (Hogeraad), Belanda juga menyatakan:

“Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang bebas dan merdeka. Setiap hakim harus memutus perkara secara independen. Dia tak boleh terpengaruh oleh desakan dan ancaman pihak yang berperkara dan masyarakat. “Hakim harus sudah independen sejak di pikiran. Dia harus mempunyai kemampuan untuk berpikir independen dan keberanian untuk memutuskan perkara.”

Berdasarkan uraian di atas, apabila KPK menggunakan Justice Collaborator dengan iming-iming peringanan Putusan di sidang pengadilan, maka KPK telah melanggar Indepensi Hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara.

Saya rasa, KPK yang dipenuhi oleh ahli-ahli Hukum seharusnya mengetahui hal ini. Atau apakah KPK memang tidak mau “Capek” dalam mengurai perkara sehingga harus menggunakan cara-cara seperti ini? Bukankah ini membuat KPK terlihat malas dan tidak ingin repot dalam mengurai suatu perkara?

Lembaga Superbody / Superbodong?

Berdasarkan uraian di atas, dapat dilihat banyak terdapat beberapa Inkonsistensi yang dilakukan oleh KPK.

Pertama, untuk masalah penetapan tersangka terhadap Angelina Sondakh, dilakukan karena telah ada bukti permulaan yang cukup, yang dimana tidak ada ukuran terhadap bukti permulaan tersebut. Jika hanya berdasar “Bukti Permulaan” saja, mengapa lantas KPK tidak berani menetapkan status Tersangka terhadap nama-nama lain yang telah disebut seperti Anas Urbaningrum, dan lainnya?

Seperti yang kita ketahui, legitimasi pada suatu peradilan pidanaterletak pada dua pilar, yaitu efektivitas dan fairness system dari peradilan pidana. Efektivitas dinilai dari kemampuan dan ketepatan atau akurasi dalam mendeteksi, melakukan investigasi, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan dalam persidangan sampai dengan penjatuhan hukuman bagi terdakwa yang telah terbukti bersalah, sampai dengan tingkat pelaksanaan pemidanaan. Fairness dinilai dari ketelitian, kecermatan, dan upaya-upaya kewajiban Negara dengan hak-hak pelaku tindak pidana dalam proses peradilan dengan ketaatan prinsip hukum, dan ketentuan standard prosedur yang ditetapkan peraturan perundang-undangan.

KPK memang mempunyai alasan tidak sembarangan dalam menentukan status Tersangka/Terdakwa atas seseorang yaitu karena KPK tidak mempunyai Hak untuk mengeluarkan SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan). Namun, saya rasa itu tidak menjadi masalah. Jika nantinya di Perssidangan Hakim bependapat Terdakwa tidak bersalah, maka Putusan Bebas pun dapat dijatuhkan oleh Hakim yang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara. Selain itu, jika ternyata di persidangan KPK tidak menemukan kesalahan dari Terdakwa, maka tidak ada salahnya KPK bersikap Sprotif dengan mengajukan Tuntutan Bebas (Vrijspraak).

Kedua, dalam Pasal 5 UU No. 30 Tahun 2002 dikatakan bahwa:

Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, Komisi Pemberantasan Korupsi berasaskan pada :

a. kepastian hukum;

b. keterbukaan;

c. akuntabilitas;

d. kepentingan umum; dan

e. proporsionalitas.

Sementara dalam pelaksanaannya, hampir dari seluruh asas tersebut terpenuhi. Mulai dari sikap KPK sering terkesan “menabrak” berbagai Aturan Hukum Formil yang ada, hanya baru terbuka jika sudah didesak oleh Pers/masyarakat (atau bahkan setelah “dikompori” oleh ICW), dan proses penanganan perkara yang tidak proporsional. Pelanggaran asas proporsionalitasan ini terlihat dari perlakunya terhadap beberapa Tersangka/Terdakwa pelaku Korupsi yang berbeda baik dari segi pemeriksaan, penetapan tersangka, dll.

Selain inkonsistensi yang muncul, nampaknya juga ditemukan permasalahan pada bagian Justice Collaborator. Jika KPK bias menjamin Tersangka/Terdakwa yang mau “bersekongkol” dengan Penyidik dapat diringankan hukumannya, lantas mengapa M. Nazaruddin hanya memperoleh pengurangan 2 (dua) bulan dari maksimal ancaman pidana 5 (lima) tahun menjadi 4 (empat) 10 (sepuluh) bulan? Ini artinya, KPK tidak bisa menjamin pengurangan hokum bagi Tersangka/Terdakwa yang bersedia menjadi Justice Collaborator karena memang putusan di sidang pengadilan adalah Murni Hak dan wewenang dari Hakim yang mengadili perkara.

Akhirnya, muncul pula berbagai pertanyaan dari masyarakat. Apakah KPK benar-benar berniat untuk menyelesaikan Kasus Korupsi (terutama Grand Corruption) di bangsa ini? Atau KPK hanya ingin sekedar menunjukkan Eksistensinya saja sebagai Lembaga Superbody? Ataukah KPK juga sedang memainkan suatu peran dalam Skenario Korupsi yang ada di Bangsa ini?

Untuk menjawab semua pertanyaan itu, saya serahkan kembali kepada masyarakat untuk menilai. Apakah KPK memang telah menjalankan fungsinya sebagai Lembaga Superbody atau telah bertindak semaunya menjadi Lembaga Superbodong?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline