Lihat ke Halaman Asli

Hukum Progresif Dalam Kasus "Xenia Maut"

Diperbarui: 25 Juni 2015   05:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Afriyani Susanti, Terdakwa kasus “Xenia Maut”, akhirnya menjalani sidang perdananya pada Hari Kamis, 26 April 2012 di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan agenda pembacaan Surat Dakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum. Persidangan digelar pada pukul 12.00 WIB dan dipimpin oleh Antonius Widyatono sebagai Hakim Ketua Majelis dengan didampingi oleh Marthin dan Sunardi, masing-masing sebagai Hakim Anggota.

Afriyani mengemudikan Daihatsu Xenia pada Minggu 22 Januari 2012 silam. Ia menabrak 12 pejalan kaki dan 9 orang di antaranya tewas di sekitar Tugu Tani. Hasil tes urine menunjukkan Afriyani memakai narkoba. (detiknews, 2012).

Pada persidangan ini, Terdakwa dijerat dengan Dakwaan Campuran berupa Kumulatif Subsidiaritas dari JPU dengan Dakwaan Kesatu melanggar Pasal 338 KUHP tentang kejahatan terhadap nyawa (Pembunuhan) dan Dakwaan Kedua (Primair melanggar Pasal 311 ayat (5) UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; Subsidiair Pasal 310 UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan). Secara mudah, Afriyani dikenakan Dakwaan tentang Pembunuhan dan Undang-undang Lalu Lintas.

Hal yang menarik dari perkara ini adalah dikenakannya Pasal 338 KUHP (Barangsiapa sengaja merampas nyawa orang lain, diancam, karena pembunuhan, dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun) kepada Afriyani yang memiliki unsur-unsur sebagai berikut:

1.Barangsiapa.

2.Dengan Sengaja.

3.Merampas Nyawa Orang Lain.

Untuk unsur pertama dan ketiga, mungkin secara bersama-sama kita akan sepakat bahwa unsur tersebut telah secara sah dan meyakinkan terbukti menurut hukum dengan uraian sebagai berikut:

·Barangsiapa

Dalam hal ini, publik dapat melihat secara langsung bahwa Terdakwa Afriyani Susanti tertangkap tangan dalam melakukan Tindak Pidana. Selain itu, Terdakwa juga merupakan subjek hukum yang bertingkah laku normal, dapat menjawab setiap pertanyaan yang diajukan kepadanya, serta tidak terdapat alasa pembenar maupun alas an pemaaf yang dapat menghapus sifat melawan hukum dari perbuatan.

·Merampas Nyawa Orang Lain

Untuk unsur ini, nampaknya tidak perlu lagi penjelasan panjang lebar. Hal ini sudah terbukti dengan adanya korban jiwa sejumlah 9 (sembilan) orang sebagai berikut (detiknews, 2012):

1.Moch Hudzaifah alias Ujay, 16 th;

2.Firmansyah, 21 th;

3.Suyatmi, 51 th;

4.Yusuf Sigit, 2,5 th;

5.Ari, 16 th;

6.Nanik Riyanti, 25 th;

7.Fifit Alfia Fitriasih, 18 th;

8.Wawan, 17 th;

9.Muhammad Akbar, 23 th.

Dengan terbuktinya Unsur Barangsiapa dan Unsur Menghilangkan Nyawa Orang Lain, maka perkara ini tinggal meninggalkan 1 unsur yang masih menjadi bahan perdebatan hingga saat ini, yaitu Unsur “Dengan Sengaja.” Banyak spekulasi dan pendapat yang menyatakan bahwa unsur ini tidak dapat terbukti karena tidak mungkin ada orang yang dengan sengaja menabrak dan membunuh banyak orang lain yang bahkan tidak dia kenal. Namun, tidak sedikit juga kalangan berpendapat bahwa unsur ini dapat dibuktikan.

Unsur Kesengajaan

Sebelum kita menyimpulkan apakah Unsur “Dengan Sengaja” dapat terbukti atau tidak, mari kita lihat uraian berikut ini:

Ada 3 Corak Kesengajaan, yang terdiri dari:

1. Kesengajaan dengan maksud (Opzet Als Oogmerk).

Secara mudah, kesengajaan dengan maksud dapat diartikan bahwa si pelaku mengetahui akibat dari perbuatannya dan memiliki kehendak untuk terjadinya akibat tersebut.

Contoh: A menghendaki matinya B dengan tangannya sendiri maka A mencekik B hingga mati.

2. Kesengajaan dengan sadar kepastian (Opzet Met Zekerheidsbewustzjin).

Corak kesengajaan ini dapat diartikan bahwa si Pelaku sangat yakin dan secara pasti tahu akibat yang ditimbulkan dari perbuatannya namun tidak menghendaki akibat dari perbuatan itu, sekalipun tetap melakukannya.

Contoh: A menusuk B dengan pisau padahal A tidak memiliki niat untuk membunuh B. Walaupun A mengetahui pasti akibat yang akan terjadi dan A tidak memiliki niat untuk terjadinya akibat tersebut, Namun A tetap melakukannya.

3. Kesengajaan dengan sadar Kemungkinan (Voorwaardelijk Opzet atau Dollus Eventualis).

Corak kesengajaan yang ketiga ini, dengan mudah dapat diartikan bahwa si Pelaku seharusnya dapat menduga / mengira-ngira akibat dari perbuatannya namun tetap melakukan perbuatan itu walaupun tidak menghendaki akibat yang ditimbulkan terjadi.

Contoh: Supir metromini yang berangkat di pagi hari pada jam macet, mengemudikan mobilnya dengan kencang padahal dia mengetahui bahwa remnya dan bannya sudah menipis, seharusnya dapat menduga dapat mengakibatkan terjadinya kecelakaan. Namun si supir tetap melakukannya walaupun ia tidak menghendaki akibat yang akan terjadinya, namun sebenarnya ia dapat menduga terjadinya akibat itu (Yurisprudensi MA – Kasus “Metromini Maut”).

Kebanyakan para sarjana berpendapat bahwa “Unsur Niat” itu SAMA DENGAN “Sengaja dalam segala tingkatan / coraknya.”Para sarjana yang berpendapat demikian antara lain: Simons, van Hamel, dan Dijck, van Hattum, Hazewinkel-Suringa, Jonkers, Mezger, dan Langemeyer.

Ada pula yang tidak setuju dengan pendapat luas itu yaitu VOS. Ia hanya mengartikan secara sempit bahwa Niat hanyalah sama dengan Kesengajaan dengan maksud (Opzet Als Oogmerk); dan tidak meliputi Kesengajaan dengan sadar kepastian (Opzet Met Zekerheidsbewustzjin) maupun Kesengajaan dengan sadar Kemungkinan (Voorwaardelijk Opzet atau biasa disebut Dollus Eventualis). Pendapat VOS yang sempit ini, selain berbeda dengan pendapat sarjana pada umumnya, juga nampaknya tidak diikuti oleh Yurisprudensi (Barda Nawawi Arief, 2008).

Penerapan Hukum Progresif

Berdasarkan uraian di atas, JIKA Jaksa Penuntut Umum dapat membuktikan bahwa Terdakwa telah menggunakan Narkotika, Minuman Keras, maupun Zat Adiktif lainnya sebelum Kecelakaan maut itu, maka JPU dapat membuktikan unsur sengaja telah terbukti secara sah dan meyakinkan terhadap Terdakwa Afriyani Susanti, dalam hal ini adalah Dollus Eventualis (Kesengajaan dengan sadar kemungkinan). Terdakwa Afriyani Susanti seharusnya dapat menduga bahwa Narkotika, Minuman Keras, maupun Zat Adiktif yang dikonsumsinya dapat menyebabkan kehilangan konsentrasi dalam mengemudi dan mengakibatkan kecelakaan. Namun Terdakwa tetap melakukannya walaupun tidak menghendaki terjadinya akibat tersebut.

Mengutip pendapat dari Alm. Prof. Satjipto Rahardjo, S.H., dalam bukunya Hukum Progresif (Suatu Pengenalan), menyatakan bahwa Hukum Progresif adalah Hukum yang membebaskan. “Hukum untuk Manusia”, dan oleh karena itu, apabila terjadi hambatan-hambatan terhadap pencapaiannya maka dilakukan pembebasan-pembebasan, baik dalam berilmu, berteori, dan berpraktek. Perspektif Hukum Progresif tidak bersifat rule bound (Rbo), yang menggarap hukum semata-mata menggunakan “rule and logic” atau rechtdogmatigheid, dengan alur berpikir linier, marsinal, dan deterministic. Bahwa paradigma Hukum Progresif akan senantiasa berpikir Rule-breaking (Rbr). Dalam berpikir Rbr, kita harus berani untuk tidak selalu tunduk dan mengikuti alur linier, marsinal, dan deterministic. Dan perlu disadari bahwa Hukum bukanlah institusi yang absolute dan final, hukum selalu dalam proses menjadi (law as process, law in the making).

Bahwa Hukum Progresif sama sekali tidak bermaksud untuk mengesampingkan hukum itu sendiri, namun kreatifitas dalam memberi penafsiran dan membaca hukum secara progresif dengan alur berpikir logika peraturan. Implementasi Paradigma Hukum Progresif secara nyata telah menempatkan hukum lebih terhormat dan fungsional karena ia tampil sebagai humanus, dimana menempatkan kepentingan dan unsur manusia di atas Undang-undang.

Meskipun paradigma hukum progresif menempatkan manusia sebagai inti atau pusat bekerjanya hukum dan berusaha melepaskan jeruji atau kerangkeng kekakuan hukum dalam arti teks Undang-undang, tidak berarti harus menafikkan hukum. Agar paradigma hukum progresif tidak terjebak dalam absolutisme manusia, dalam arti peniadaan rambu-rambu atau aturan hukum, konsep Progresif haruslah berakar pada sikap “Menghargai Hukum dan Menempatkan Hukum Sebagai Pijakan”, meskipun “Tidak Absolut.”

Berangkat dari penjelasan dan teori di atas, maka dalam menguraikan unsur-unsur perbuatan yang dilakukan oleh Terdakwa, diharapkan JPU melakukan penelaahan secara komprehensif dengan mencoba berpikir Rule-breaking dan menggandeng hukum progresif dalam membuktikan setiap unsur yang didakwakan. Hal ini diharapkan dapat memenuhi rasa keadilan dan tidak menafikkan kepentingan di masyarakat.

Selain itu, diharapkan kepada Tim Penasihat Hukum Terdakwa agar tidak hanya menafsirkan perbuatan Terdakwa semata-mata melanggar rumusan Undang-undang yang bersifat formil tanpa melihat sisi perbuatan materiil Terdakwa yang mengancam dan telah menimbulkan duka yang cukup dalam di dalam masyarakat.

Dan diharapkan pula kepada Majelis Hakim yang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara ini agar menjatuhkan putusan yang seadil-adilnya, tidak hanya kepada Terdakwa, tetapi juga memperhatikan kepentingan korban. Mengutip pendapat dari Alm. Prof. Bismar Siregar, S.H. (mantan hakim agung), dalam bukunya “Dari Bismar untuk Bismar” menyatakan bahwa: “Penegakan Hukum bukanlah penegakan Undang-undang. Penegakan hukum adalah penegakan keadilan. Oleh karenya, bismar bependapat adagium yang berbunyi setiap pelanggar hukum harus dihukum, seharusnya diganti menjadi setiap pelanggar hukum seyogyanya dihukum.”

Dengan memegang semangat ini, niscaya penegakan Hukum yang berlandaskan Keadilan akan tercipta di kasus ini.

TULUS H PARDOSI, S.H.

Alumni Fakultas Hukum

Universitas Diponegoro, Semarang

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline