Lihat ke Halaman Asli

Milani Yasyfi H

Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia

Difemisme dalam Fanatisme

Diperbarui: 25 Maret 2022   12:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Cekcok antar penggemar fans K-pop atau lebih dikenal dengan istilah fan war sering sekali kita temukan di media sosial, salah satunya adalah twitter. Fan war biasanya dilakukan oleh dua kelompok fandom atau lebih untuk membela idol berbeda yang disukai keduanya dengan cara saling menulis atau membalas tweet.

Melalui tweet mereka sering sekali ditemukan ungkapan disfemisme di sana. Disfemisme (Menurut Allan dan Burridge, 1991) digunakan untuk membicarakan tentang lawan, menunjukkan ketidaksetujuan seseorang, dan untuk merendahkan seseorang." Ekspresi disfemisme termasuk kutukan, namecalling, dan segala bentuk merendahkan ditujukan kepada orang lain untuk menghina atau melukai lawan bicara.

Segala aktivitas yang kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari tentu akan selalu melibatkan bahasa. Selain untuk berkomunikasi antar individu, bahasa juga sering digunakan untuk menyampaikan ide, pikiran, perasaan, dan emosi setiap individu. Mau tidak mau, setiap individu akan selalu hidup berdampingan dan saling berhubungan dengan bahasa. Itu juga menjadi alasan mengapa bahasa terus berkembang bahkan berubah seiring dengan perkembangan yang terjadi di kehidupan kita. Salah satu bukti nyata dari hubungan tersebut, bahasa kini tidak hanya berwujud lisan tetapi banyak wujud lainnya, seperti bahasa tulis bahkan bahasa tulis yang dilisankan atau sebaliknya.

Akan tetapi perkembangan bahasa tidak selamanya menuju ke arah yang baik. Seperti yang kita tahu, banyak sekali fenomena yang terjadi secara tidak sadar penyebab utamanya adalah bahasa. Salah satu dari fenomena tersebut terjadi di dalam kalangan fans K-Pop yang sudah dipaparkan sebelumnya.

Pada tahun 2016, Jakpa.net merilis data berdasarkan 793 fans  K-pop, 42% diantaranya berumur 16-19 tahun dan 35% berumur 20-25 tahun. Berdasarkan hasil tersebut, sebagian besar penggemar Kpop merupakan anak sekolah. Apa jadinya ketika disfemisme terus menerus digunakan? Benyamin Vigotsky dalam teorinya menyatakan bahwa bahasa dan pikiran saling mempengaruhi. Maka dari itu, sedikit atau banyak ungkapan disfemisme yang digunakan pasti akan memberikan dampat tertentu.

Untuk mengungkap hal tersebut perlu dilakukan praktik analisis dengan menggunakan pisau analisis kebahasaan. Titik berat dalam fenomena ini berada di bahasa. Makna dari apa yang ditulis atau diucapkan ketika fanwar terjadi perlu dikaji satu persatu agar dapat terlihat apakah maknanya merujuk ke ungkapan disfemisme apa bukan.

Sayang sekali, kajian terhadap ungkapan disfemisme yang digunakan oleh para penggemar fans K-Pop belum banyak. Maka dari itu diperlukan lebih banyak kajian yang membahas topik tersebut untuk mengetahui penggunaan disfemisme dilakukan secara sadar atau tidak oleh fans K-Pop. Mengingat istilah ini masih asing, bisa jadi banyak yang tidak sadar bahwa apa mereka sering menggunakan ungkapan disfemisme. Melalui itu juga, dampaknya bisa terlihat seperti apa, positif atau negatif, dan masih banyak lagi.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline