Lihat ke Halaman Asli

“Simalakama Sistem Pendidikan Era Kapitalisme”

Diperbarui: 23 Juni 2015   22:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Pada 2012 lalu, Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mempublikasikan hasil survei selama 5 tahun terakhir yang menunjukkan bahwa kualitas pendidikan di Indonesia cenderung menurun. Penurunan ini disinyalir karena salah kelola dalam penyelenggaraan pendidikan nasional oleh pemerintah (edukasi.kompas.com/27des2012). Survei yang lain dari Firma Pendidikan Pearson menilai sistem pendidikan Indonesia terendah di dunia bersama Meksiko dan Brazil (edukasi.kompasiana.com/18feb2013). Fakta lain muncul dengan tingginya angka kasus korupsi yang dilakukan oleh lulusan pendidikan tinggi. Kementerian Dalam Negeri mencatat sepanjang Oktober 2004 hingga Juli 2012 ada ribuan pejabat daerah yang terlibat kasus korupsi. Setiap lapisan pejabat daerah, mulai dari gubernur, wali kota, bupati, hingga anggota dewan perwakilan daerah terlibat korupsi. (tempo.co/29agust2012). Tak hanya kepala daerah, anggota legislatif, dari tingkat eksekutif hingga tingkat yudikatif pun tak luput dari bahaya laten korupsi. DPR Indonesia pun digadang-gadang sebagai lembaga terkorup ke-3 di Asia Pasifik (tempo.co/16sept2013). Padahal yang duduk di Gedung Senayan adalah orang-orang lulusan pendidikan tinggi.

Timbul pertanyaan, mengapa orang-orang besar dan terdidik ini begitu banyak yang tersandung kasus korupsi?. Padahal, mereka mengecap pendidikan tinggi yang tak semua orang di negeri ini bisa merasakannya. Kita lihat saja, Nazaruddin Syamsuddin, Miranda S. Gultom, Angelina Sondakh, Anas Urbaningrum, Andi Malarangeng, masih banyak lagi yang lain. Mereka adalah lulusan master dan doktor dari universitas-universitas ternama di Indonesia. Dengan banyaknya tersangka kasus korupsi dan fakta latar belakang mereka yang berpendidikan tinggi pun memunculkan pertanyaan baru, mengapa sistem pendidikan kita banyak menghasilkan orang-orang yg tersandung tindak pidana korupsi?

Jika kita menelisik lebih jauh, maka kita akan menemukan banyak faktor yang menyebabkan terjadinya kasus korupsi meski oleh orang-orang yang memiliki latar belakang pendidikan tinggi. Degradasi moral adalah salah satu faktornya. Hal tersebut jelas karena satu-satunya sumber moral yaitu agama dipisahkan dari kehidupan. Pemisahan agama dari kehidupan atau sekularisme dijadikan asas untuk membangun kehidupan bangsa dan negara. Mata pelajaran dan mata kuliah agama hanya mengambil peran sebagai pelengkap kurikulum _hanya 1,5 jam dalam seminggu_ sehingga sulit untuk diharapkan memberi dampak positif dalam kehidupan individu, masyarakat, dan negara. Tak heran, para pelajar di sekolah, maupun universitas tak memahami bagaimana memunculkan nilai moralitas dalam kehidupan mereka. Bahkan sampai mereka mendapat amanah jabatan menjadi penguasa.

Ini menjadi bencana besar bagi rakyat indonesia. Sekularisme di bidang pendidikan meniscayakan orang-orang yang cerdas sainstek tapi jauh dari nilai moralitas sehingga tidak amanah memegang kekuasaan. Selain itu, ekonomi kapitalisme liberal yang menanamkan pola hidup dan pola pikir materialis menjadikan nilai kehidupan hanya distandarkan pada materi. Tidak heran meski sarjana dan berpendidikan tinggi, tapi berorientasi materi untuk memperkaya diri sendiri dan kelompoknya. Bukankah itu yang menggejala pada banyak kasus korupsi hari ini?

Akhir tahun 2012 lalu UU PTN-BH disahkan oleh DPR. UU tersebut semakin memperparah kenyataan akan kehidupan materialistis di dunia pendidikan. Otonomi kampus yang dikonsep oleh pemerintah meniscayakan kampus memiliki peran ganda, sebagai pusat pendidikan sekaligus sebagai tempat usaha. Untuk bisa memenuhi kebutuhannya, kampus harus mendirikan badan usaha yang menghasilkan. Bisa jadi, jika kampus tidak mampu menghasilkan dana yang cukup, maka beban itu akan diberikan kepada mahasiswa karena dalam pola pengelolaan keuangan kampus dalam UU ini diserahkan sepenuhnya kepada pihak kampus. Ini justru berbahaya karena semakin menambah orang-orang yang tidak mampu meneruskan pendidikannya ke jenjang universitas. Juga membuka peluang lebih lebar bagi kampus menjadi lahan investasi asing. Hasil riset dan penelitian yang bermanfaat oleh anak bangsa tidak akan bisa dinikmati seperti yang sudah-sudah terjadi. Undang-undang yang sangat merugikan ini justru dirancang dan disahkan oleh orang-orang berpendidikan tinggi di parlemen. Nyatanya gelar sarjana, master maupun doktor mereka tidak mampu membawa kebaikan ataupun kesejahteraan bagi masyarakat luas.

Perlu diketahui pula bahwa UU PTN-BH adalah wujud dari implementasi kapitalisme liberal dalam dunia pendidikan. Inilah akar dari permasalahan yang sebenarnya. Kapitalisme memandang bahwa subsidi dan bantuan yang sesungguhnya adalah tanggungan negara kepada rakyat hanyalah beban yang harus dikurangi. Bahkan ditiadakan sama sekali. Kapitalisme menghendaki agar setiap individu berusaha sesuai dengan kemampuan masing-masing untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri, campur tangan negara harus diminimalisir atas dasar kebebasan ekonomi tiap individu atau kelompok. Dalam institusi pendidikan, teori ini pun berlaku. Maka tidak heran jika otonomi kampus adalah keputusan para pelaku sistem kapitalisme –para sarjana di parlemen- untuk mengurusi bidang pendidikan. Sistem ini, berikut para pelakunya yang menyebabkan mahalnya biaya pendidikan, banyaknya anak bangsa yang putus sekolah, tingginya angka buta huruf hingga alih fungsi institusi pendidikan yang tidak lagi hanya fokus untuk mencetak generasi unggul.

Terpilihnya orang-orang pintar yang korupsi di parlemen juga perlu dikritisi dengan menyoroti sistem perpolitikan demokrasi yang diadopsi negara ini. Sistem demokrasi adalah sistem yang mahal. Sistem ini meletakkan kedaulatan kepada rakyat, untuk memilih wakil-wakil mereka di pemerintahan melalui metode suara terbanyak. Pencitraan para calon pun sangat menentukan, dan tentu saja promosi itu memakan biaya. Untuk menjadi anggota legislatif, paling sedikit harus mengeluarkan biaya 300 juta, tidak termasuk biaya kampanye, biaya menyewa penasihat politik dan sebagainya. Total tertinggi biaya untuk menjadi anggota legislatif, digadang-gadang mencapai angka milyaran. Untuk tingkat eksekutif pun, lebih fantastis lagi, angkanya bisa mencapai 10 trilyun lebih. Angka yang mahal untuk meraih sebuah kursi kekuasaan. Darimana lagi para calon legislatif maupun presiden mendapatkan uang untuk biaya politiknya, jika bukan dari para cukong pengusaha yang punya kepentingan dengan kekuasaan. Inilah yang akhirnya menjadi indikasi adanya kongkalikong antara penguasa dan pengusaha. Mark up, suap menyuap, jual beli pasal, gratifikasi, penggelapan dan pencucian uang, membuat miris rakyat indonesia hanya bisa menyaksikan kelakuan para koruptor bergelar sarjana.

Ancaman hukuman dari pengadilan bagi koruptor juga terbilang tidak akan memberikan efek jera. Kurungan penjara rata-rata 4 tahun bagi koruptor sama dengan dakwaan pencuri sandal. Belum lagi jika presiden memberikan grasi tiap tahun untuk narapidana, tahanan korupsi bisa saja mendapat kekurangan hukuman. Sudah menjadi rahasia umum para pejabat yang tersandung korupsi pun masih bisa merasakan kehidupan elit di dalam penjara. Bahkan dalam sejarah rezim yang sebelumnya, penguasa justru menyelamatkan para koruptor menghindari proses pengadilan.

Kita butuh solusi yang sistemik, karena permasalahan negeri ini terjadi bukan hanya pada permasalahan oknum/individu tetapi juga karena permasalahan sistem. Negeri ini tidak hanya butuh banyak orang pintar, banyak sarjana, tapi juga butuh banyak orang pintar, sarjana yang jujur dan amanah. Keilmuannya menjadikan dia sebagai orang yang bermoral, dan memberikan kebaikan bagi orang lain. Namun, tentu saja kita tidak bisa berharap solusi dari sistem demokrasi kapitalisme sekular. Karena telah nyata cacat dan gagalnya.

Satu-satunya harapan dan kunci dari segala persoalan ini adalah dengan mencampakkan sistem kapitalisme demokrasi dan menggantinya dengan sistem yang terbukti memberikan kebaikan. Itulah sistem islam.

Islam memandang bahwa pendidikan, politik, ekonomi, dan kehidupan tidak bisa dipisahkan dari peran agama. Islam tidak mengakui sekularisme. Sebagai agama yang sempurna, baik dalam dunia pendidikan, politik dan ekonomi hingga budaya sekalipun, islam mempunyai seperangkat aturan yang jelas untuk diterapkan dan terbukti mampu membawa peradaban unggul. Para ilmuwan di jaman islam, mereka ahli agama juga sekaligus seorang saintis. Mereka mendapatkan gelas keilmuwan mereka bahkan hingga hari ini karya-karya mereka lah yang terbaik. Kita mengenal Al Jazari, Al Khwarizmi, Abbas Ibnu Firnas, Ibnu An Nafis, Ibnu Sina, dan masih banyak lagi. Para politikus muslim di jamannya juga seorang ulama yang paham bagaimana mengurusi masyarakat dengan cara yang adil yang diatur oleh syariat. Menjalankan seperangkat hukum islam, kebijakan politik dalam dan luar negeri dalam rangka beribadah kepada ALLAH swt. Bukan semata-mata atas dasar kekuasaan dan materi duniawi. Khalifah –penguasa dan pemimpin kaum muslim- diseleksi dan dipilih karena kapabilitasnya sebagai seorang yang mampu melaksanakan kewajibannya mengurusi urusan rakyat sesuai dengan syariat islam. Proses memilih khalifah tidak membutuhkan biaya yang fantastis karena khalifah wajib dibaiat/diangkat dalam waktu 3 hari, tidak boleh lebih dari jangka waktu tersebut. Tidak ada kampanye, promosi, dan pencitraan yang tidak berguna. Sehingga kongkalikong antara penguasa dengan penguasa yang mengarah pada tindakan korupsi, gratifikasi dan sebagainya akan sangat kecil kemungkinan terjadi.

Selain itu, mahkamah mazhalim dibentuk untuk mengoreksi penguasa dan menyelesaikan permasalahan antara rakyat dengan penguasa. Anggota dari mahkamah ini dipilih dengan kapabilitasnya sebagai pengoreksi. Bukan sebagai pembuat undang-undang. Karena undang-undang atau hukum itu hanya berasal dari ALLAH swt yang tercantum dalam keterangan wahyu. Maka tidak akan ada kepentingan yang akan terselip dibalik setiap tugas mereka.

Islam mampu mencegah para penguasa atau pemegang jabatan untuk melakukan tindak pidana korupsi. Setiap harta penguasa akan dicatat sebelum dan setelah menjabat. Jika ditemukan ada kelebihan yang tidak wajar. Maka negara akan menarik harta yang berlebih ke dalam baitul mal –kas negara islam- dan khalifah akan memberikan sanksi sesuai dengan tingkat kerusakan yang ditimbulkan. Hukumannya mulai dari kurungan penjara, diasingkan, dicambuk hingga hukuman mati. Sistem hukum islam pun tidak membolehkan adanya pengurangan hukuman. Sehingga efek jera dari hukuman bisa dirasakan oleh pelaku tindak pidana korupsi. Siapapun, kapanpun, dan dimanapun.

Inilah sistem yang berasal dari alqur’an dan as-sunnah, dari sang maha benar, ALLAH swt. Sistem yang mampu mencetak generasi, individu-individu cerdas, pakar dalam bidangnya namun juga tidak kalah urusan agama, moral dan akhlaknya. Sistem inilah yang akan menjamin kehidupan yang berkah dan sejahtera dalam segala segi. Masihkan kita percaya sistem selain islam? padahal telah nyata bahwa selain islam justru akan membawa bencana? Wallahu a’lam bi ash-shawab.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline