Lihat ke Halaman Asli

Aliyya Zikrina

Mahasiswa Universitas Indonesia

Mewujudkan Kesetaraan: Peran Sanksi Mengikat dalam Memperkuat Representasi Perempuan di Partai Politik

Diperbarui: 18 Oktober 2024   11:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dalam upaya mencapai kesetaraan, hak-hak perempuan sering kali diabaikan dalam berbagai aspek kehidupan publik, tidak terkecuali di bidang politik. Tidak jarang perempuan menemui hambatan sosial dan institusional yang menghalangi pelaksanaan hukum yang seharusnya melindungi hak-hak yang mereka miliki. Salah satu contoh yang paling mencolok dari fenomena ini bisa dilihat melalui Pemilihan Umum (Pemilu) Legislatif, termasuk yang baru saja kita jalani beberapa bulan lalu. 

Hingga saat ini, pemerintahan Indonesia telah mengeluarkan undang-undang tertulis yang mewajibkan minimal keterwakilan perempuan sebesar 30% pada tiga lembaga negara, termasuk partai politik. Namun, meskipun pemerintah Indonesia telah memberlakukan tindakan afirmatif untuk mendorong peningkatan representasi perempuan dalam partai politik, situasi tetaplah genting. Dimana masih ada banyak partai politik yang melanggar peraturan tertulis ini tanpa adanya sanksi yang jelas. Kegagalan untuk menegakkan undang-undang ini yang diperparah dengan kurangnya sanksi yang mengikat menggarisbawahi kebutuhan mendesak untuk memperkuat langkah-langkah tindakan afirmatif dalam partai politik untuk memastikan partisipasi perempuan secara maksimal.

Oleh karena itu, untuk memastikan partai politik mematuhi serta melakukan tindakan afirmatif yang telah diberlakukan untuk perempuan secara serius, harus ada penerapan sanksi tegas yang mengikat. Tindakan afirmatif harus dilihat bukan hanya sebagai sebuah persyaratan hukum, tetapi juga alat untuk memperbaiki ketidaksetaraan sistemik yang dihadapi perempuan dalam mengakses representasi politik. Tanpa penegakan hukum yang tepat, peluang perempuan untuk bersaing secara setara dengan laki-laki akan tetap terbatas, sehingga menghambat upaya menuju kesetaraan gender yang sesungguhnya dalam politik.

Tindakan Afirmatif dan Hambatannya dalam Politik Indonesia

Mengingat bahwa perempuan menghadapi tantangan serta hambatan yang dialami oleh perempuan dalam berbagai aspek kehidupan publik, pemerintahan Indonesia memberlakukan tindakan afirmatif di tiga lembaga/ranah negara. Diantaranya adalah ranah birokrasi, lembaga kepengurusan pemilu, dan partai politik. Tindakan afirmatif ini diberlakukan dikarenakan perempuan menghadapi sejumlah tantangan serta hambatan yang secara eksklusif hanya dihadapi oleh mereka, yang meletakkan mereka pada posisi tidak setara dengan pria dalam kompetisi politik. Untuk memahami gambaran hambatan yang dialami oleh perempuan untuk berkontestasi dalam politik, dapat digunakan analogi tiga bagian pohon yakni akar, batang, dan ranting. Bagian akar mengacu pada hambatan yang bersifat nilai/tradisi/budaya di masyarakat yang cenderung merugikan posisi perempuan. Bagian batang mengacu pada kondisi ekonomi, sosial dan politik yang merugikan posisi perempuan. Dalam hal ini termasuk juga tantangan sistemis yang dihadapi caleg perempuan yang terkait regulasi dan sistem kepemiluan. Sedangkan bagian ranting mengacu pada hambatan internal dari diri perempuan. Analogi pohon dipilih untuk memudahkan penjelasan tantangan mana yang paling sulit diatasi hingga yang paling lebih mudah diatasi sendiri oleh perempuan. 

Dalam partai politik sendiri, tindakan afirmatif telah diberlakukan pasca reformasi pada tahun 2002, 2008, dan 2011. Tindakan afirmatif pertama yang tercantum dalam UU No. 31 tahun 2002 hanya menghimbau partai politik untuk memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender, sehingga terkesan menjadi rumusan aturan afirmasi dalam partai politik yang paling lemah. Pada UU No. 2 Tahun 2008, telah ada penguatan peraturan dimana mulai tercantum rumusan jumlah keterwakilan perempuan dalam partai politik di setiap tingkatan dan ada elaborasi kepengurusan mencakup pendirian dan pembentukan partai baru. Dimana kepengurusan partai politik disusun dengan memperhatikan keterwakilan perempuan paling rendah 30%. Pada peraturan selanjutnya yakni UU No. 2 Tahun 2011, tidak ada banyak perubahan dari peraturan sebelumnya, dengan hanya penambahan pasal afirmasi terkait proses rekrutmen bakal calon anggota DPR dan DPRD. 

Namun, hingga saat ini, masih terdapat banyak partai politik yang tidak memenuhi kewajiban untuk menyertakan setidaknya 30% partisipasi perempuan dalam struktur kepengurusannya. Pelanggaran ini pun dapat dilakukan dengan partai politik dengan impunitas, dimana partai-partai yang melanggar tersebut tidak dikenakan sanksi dalam bentuk apapun. 

Hal ini menjadi masalah ketika kita melihat perempuan yang berhasil sukses dalam partai politik sering kali memiliki hubungan kekerabatan erat dengan para elit politik, membuat partisipasi bagi perempuan dalam politik semakin eksklusif. Dinamika ini berarti perempuan yang tidak memiliki kedekatan dengan keluarga elit semakin termarginalisasi, dimana tindakan afirmatif yang berlaku hanya menguntungkan bagi segelintir perempuan yang telah memiliki akses ke sumber daya serta jaringan politik sebelumnya. Kurangnya inklusivitas ini melemahkan tujuan dari pemberdayaan perempuan dalam politik dan membatasi efektivitas dari tindakan afirmatif yang berupaya untuk mendorong lebih banyak suara perempuan dalam pengambilan keputusan politik. 

Partai Politik sebagai Penghalang Representasi Perempuan: Kenapa Representasi Perempuan Menjadi Penting?  

Partai politik adalah gatekeeper (penjaga gawang) utama yang menjadi kunci bagi representasi serta partisipasi perempuan dalam struktur politik formal. Yang dimaksud dengan penjaga gawang adalah partai politik mampu mengontrol akses terhadap posisi-posisi strategis di partai dan pemerintahan, menstruktur isu yang ingin diangkat/ditonjolkan di arena politik, serta menjadi ajang utama bagi warga sipil untuk memiliki suara dan mendapatkan pengaruh dalam proses politik formal. Jika berbagai partai ini tidak mengimplementasikan tindakan afirmatif secara serius, representasi perempuan dalam politik akan tetap menjadi dangkal dan dianggap sebagai simbol/token semata untuk memenuhi peraturan.

Oleh karena itu, sebagai penjaga gawang, partai politik memiliki pengaruh yang kuat dalam menentukan nasib representasi politik perempuan. Partisipasi perempuan dalam politik pembuatan kebijakan sangatlah dibutuhkan, bukan hanya untuk kesetaraan gender tetapi juga bagi membentuk kerangka hukum yang mengatur kebutuhan-kebutuhan spesifik perempuan. Tanpa perempuan pada posisi pembuatan kebijakan ini, isu seperti kekerasan domestik, hak-hak reproduksi, dan diskriminasi berbasiskan gender semakin mungkin untuk terpinggirkan dan terabaikan. Kurangnya representasi perempuan akan semakin memperpanjang ketidaksetaraan gender dan memperlemah proses pembuatan kebijakan yang menyeluruh dan inklusif.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline