Permasalahan permukiman kumuh sudah sangat umum di Indonesia. Tentu saja kita sudah sering mendengar permasalahan tersebut di berbagai media maupun melihat langsung di sekitar kita. Permasalahan permukiman kumuh di Indonesia bermacam-macam meliputi buruknya sarana dan prasarana seperti tidak adanya jaringan air bersih dan system persampahan yang buruk sehingga menyebabkan kualitas lingkungan kawasan permukiman terlihat buruk.
Menurut UU Nomor 1 Tahun 2011 Permukiman kumuh adalah permukiman yang tidak layak huni karena ketidakteraturan bangunan, tingkat kepadatan bangunan yang tinggi, dan kualitas bangunan serta sarana dan prasarana yang tidak memenuhi syarat. Dan penyebab utama tumbuhnya lingkungan kumuh menurut Khomarudin (1997) adalah :
- Urbanisasi dan migrasi yang tinggi terutama bagi kelompok masyarakat berpenghasilan rendah,
- Sulit mencari pekerjaan,
- Sulitnya mencicil atau menyewa rumah,
- Kurang tegasnya pelaksanaan perundang-undangan,
- Perbaikan lingkungan yang hanya dinikmati oleh para pemilik rumah serta
- Disiplin warga yang rendah.
- Kota sebagai pusat perdagangan yang menarik bagi para pengusaha,
- Semakin sempitnya lahan permukiman dan tingginya harga tanah.
Di Indonesia sendiri penyebab permukiman kumuh yang paling utama dan hampir terjadi di setiap kota adalah urbanisasi dan pertumbuhan penduduk yang tinggi. Berdasarkan Survei Penduduk tahun 2010 pertumbuhan penduduk Indonesia relatif masih tinggi yakni 1,5%-2% per tahun. Pertumbuhan penduduk ini kebanyakan terjadi di kota-kota besar yang kemudian mengakibatkan kebutuhan akan lahan untuk perumahan juga semakin meningkat. Hal ini yang menyebabkan lahan-lahan di perkotaan memiliki harga yang semakin melambung tinggi. Akibat tingginya harga lahan untuk perumahan, penduduk sekitar melakukan pemadatan dalam membangun rumah di permukiman (densifikasi). Karena daerah pemukiman dengan rumah-rumah yang padat hampir tak ada sela ini membuat kondisinya menjadi kumuh dan tidak tertata.
Menurut catatan PBB tahun 2005, sekitar 1 (satu) milyar jiwa penduduk di seluruh dunia hidup di permukiman kumuh. Sedang di Indonesia pada tahun 2000, permukiman kumuh mencapai lebih dari 47 ribu hektar dan meningkat hingga mencapai 58,7 ribu hektar pada tahun 2005. Terbentuknya permukiman kumuh (slum area) dipandang potensial menimbulkan banyak masalah perkotaan karena dapat menjadi sumber timbulnya berbagai perilaku menyimpang seperti kejahatan dan sumber penyakit sosial lainnya. Tahun 2012 permukiman kumuh di Indonesia terus bertambah dengan kecepatan pertambahan sekitar 1,37% per tahun dengan luas permukiman kumuh mencapai 57.800 hektar. Data terakhir yang didapatkan dari Kementerian Pekerjaan Umum pada tahun 2015 di Indonesia terdapat 415 kabupaten/kota memiliki kawasan kumuh yang terdiri dari 3.193 kawasan Kumuh dengan total luasan 34.800 hektar.
Dari grafik diatas dapat dilihat luasan permukiman kumuh di Indonesia mulai menurun secara signifikan dari tahun 2012 sampai tahun 2015. Tetapi walaupun luasan permukiman kumuh menurun, luasan permukiman kumuh pada tahun 2015 yang sebesar 34.800 hektar masih terbilang cukup tinggi dan harus segera ditangani. Dalam seminar untuk memperingati Hari Habitat Dunia 2012 Sekretaris Kementerian Perumahan Rakyat (Sesmenpera) pernah mengatakan, jika kondisi seperti permukiman kumuh tidak ditangani, maka dengan kecepatan pertambahan yang konstan, pada tahun 2020 Indonesia akan memiliki 67.100 hektar permukiman kumuh.
Hampir semua kota-kota besar di Indonesia memiliki kawasan permukiman kumuh. Dan dari semua permasalahan permukiman kumuh tersebut, solusi yang akrab terdengar di telinga kita adalah penggusuran, pengusiran paksa baik secara langsung maupun secara tidak langsung yang dilakukan pemerintah setempat terhadap penduduk yang menggunaan sumberdaya lahan yang bukan miliknya.
Di kota besar, penggusuran menyebabkan ketidakstabilan kehidupan keseharian masyarakat seperti bekerja dan bersekolah serta melenyapkan aset hunian masyarakat. Penggusuran adalah pelanggaran hak tinggal dan hak memiliki penghidupan, tentu saja penggusuran ini sangat merugikan masyarakat. Dan seperti yang sering kali terjadi banyak sekali pro dan kontra dalam hampir semua aksi penggusuran. Dilema yang dialami pemerintah antara memikirkan kondisi masyarakat dan menegakkan kebijakan yang berlaku membuat aksi penggusuran sulit dilakukan, di satu sisi pemerintah harus memikirkan kondisi masyarakat tetapi di sisi lain pemerintah harus menegakkan kebijakan yang berlaku.
Pernahkah terlintas di pikiran anda bagaimana cara menangani permasalahan permukiman kumuh selain dengan cara penggusuran ?. Sebenarnya sangat banyak solusi yang dapat dipilih selain penggusuran. Salah satunya adalah dengan memanfaatkan potensi dari kawasan tersebut. Potensi tersebut dapat berupa Sumber Daya Alam maupun Sumber Daya Manusia. Memanfaatkan potensi Sumber Daya Manusia dapat berupa melakukan pelatihan keterampilan kepada masyarakat seperti pelatihan pembuatan kerajinan tangan maupun pengolahan industry makanan dimana dapat meningkatkan pendapatan masyarakat, pelatihan ini dapat memanfaatkan potensi Sumber Daya Alam dari lingkungan sekitar dan hal ini tentu saja dapat meningkatkan pendapatan masyarakat.
Dengan meningkatnya pendapatan masyarakat tentunya akan berpengaruh kepada kesejahteraan masyarakat. Semakin sejahtera seseorang tentunya akan membuat keinginan untuk hidup layak semakin tinggi. Keinginan untuk hidup layak ini menyebabkan masyarakat ingin hidup dan tinggal di tempat yang mempunyai lingkungan lebih baik. Dengan mempunyai pendapatan yang cukup dan keinginan untuk hidup layak, masyarakat akan dengan sendirinya berpindah dari kawasan kumuh tersebut atau masyarakat dapat lebih memperhatikan lingkungan agar kualitas lingkungan tempat tinggal mereka lebih baik. Tentunya pelatihan masyarakat ini dapat menyelesaikan permasalahan permukiman kumuh, tidak merugikan pihak manapun sekaligus membawa banyak keuntungan lainnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H