[caption caption="Adik Bungsu"][/caption]
Miftahul Umam, adik bungsu yang pernah jatuh dari pohon mimba ini, tak pernah masuk ranking tiga besar sejak Sekolah Dasar hingga Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama. Prestasinya berbalik dari kedua kakaknya, saya dan Mahrus Ali yang selalu tak lepas dari ranking tiga besar. Saya sudah sedikit memaksanya untuk lebih semangat belajar, tetapi Umam tetap saja letoy dan tak mampu mengungguli teman-temannya. Teladan prestasi saya dan Mahrus, juga tak membuatnya terlecut untuk meraih yang serupa. Prestasi Umam benar-benar bergeming tanpa nomor. Sudah berbagai cara dilakukan untuk memotivasi, mulai dari motivasi belajar hingga rukatan (kecuali nyogok gurunya), namun Umam tak tertarik dengan prestasi ranking sekolahnya.
Umam seperti tak tertarik untuk merebut juara satu, dua, atau tiga. Entah apa sebabnya. Mungkin hadiahnya sangat tidak berharga, dan boleh jadi begitu. Akhirnya, kami sekeluarga harus pasrah, mungkin memang seperti itu kemampuannya, meski di sisi lain saya curiga pada keadaannya. Saya curiga, sejak Umam jatuh dari pohon mimba kecerdasannya hilang, karena (mungkin) ada saraf yang terjepit. Umam yang sejak kecil terlihat jelas tanda-tanda kecerdasannya tiba-tiba pudar, dan membuat saya sedikit miris.
Saya tak berputus asa melecutkan prestasinya. Sekarang, justru saya yang berambisi merebut prestasi juara satu, seperti halnya dahulu saya berhasil bertengger di atas prestasi teman-teman saya. Saya mengiming-imingi hadiah berupa handphone dan tentu tak hanya iming-iming belaka. Maka pertama kali masuk Madrasah Aliyah, tepatnya pada semester pertama, Umam tak tanggung-tanggung langsung melonjak ke ranking satu. Dari tak pernah ranking hingga melesat ke ranking satu adalah pemandangan yang mencengangkan, setidaknya bagi saya dan keluarga. Kecerdasan Umam, lambat-laun terpendar di wajahnya. Handphone ajaib yang dijanjikan akhirnya dalam genggamannya hingga sekarang. Semester dua, prestasinya tetap dipertahankan dengan iming-iming laptop (meski belum mampu saya belikan, tapi pasti saya belikan). Hadiah membawa keajaiban.
Ranking satu adalah dambaan orangtua atas usaha anak-anaknya yang berjibaku di sekolah. Siapa yang tak bahagia jika anaknya berprestasi? Tentu saja, orangtua harus ikut terlibat penuh untuk keberlangsungan prestasinya, jangan hanya dipasrahkan kepada sekolah, apalagi sekolah yang tak pernah hirau dengan prestasi anak-anak didiknya. Namun dengan demikian, saya tegaskan kepada adik bungsu saya, bahwa prestasi sekolah bukan jaminan akan meraih prestasi lebih lanjut di luar sekolah, karena saingannya tidak hanya orang satu kelas, tetapi kelas sosial yang lebih luas.
Di kampung saya, orang-orang berprestasi bukanlah orang-orang yang bersentuhan dengan dunia akademisi, bukan orang berilmu yang mengantarkan spiritual seseorang mi'raj ke hadapan Tuhan, tetapi mereka yang dianggap berprestasi adalah orang-orang yang berhasil menumpuk-numpuk harta dan "menyembahnya". Akademisi, ilmuan, ulama, kiai, guru ngaji, hanya menjadi bagian nomor butut yang tak ada "harganya". Barangkali, itu juga menjadi keterpurukan anak-anak didik karena faktualitas datanya sangat lekat di lingkungannya.
Belajar Pada Umam
Apa yang dilakukan Umam sepertinya berbau materialistis. Satu sisi, itu benar, tetapi sisi lain, (saya, guru, orangtua, dan stake holder lainnya) tentu tak akan membiarkan Umam larut dengan prestasi dengan iming-iming benda berupa handphone dan laptop, tetapi Umam tetap harus dijaga menu spirutualnya dengan tetap dituntun, agar tak memuja dunia dan menyembahnya.Umam hanya satu contoh kasus yang harus dilecutkan prestasinya, dan dibuka kebodohannya.
Sekolah, jangan pernah berharap anak-anaknya berprestasi jika hanya mampu memberi hadiah anak-anak didiknya dengan piala, buku tulis, seharga kepelitan penduduk kampung saya, yang pelitnya selangit. Hadiah bisa menjadi pemicu bangkitnya anak-anak yang selama ini dianggap bodoh dan tolol, oleh guru-gurunya yang tak punya kompetensi apa-apa itu. Kasarnya, sekolah dan guru jangan hanya memanfaatkan kehadiran anak-anak didiknya untuk mendapatkan bantuan dari pemerintah, sementara prestasi anak didiknya hanya dianggap selingan belaka.
Sekolah harus berani memberikan hadiah besar untuk anak didiknya. Misal, sekolah berani memberikan hadiah senilai 10 juta untuk setiap ranking satu, atau jika terlalu besar sesuaikan dengan anggaran sekolah. Jangan hanya memanjakan fasilitas bagunan fisik, sementara bangunan kecerdasan anak-anak didiknya terbengkalai. Sekolah yang mampu memberikan penghargaan fantastis seperti itu, akan menepis rumor yang selama ini berkembang, bahwa ada sekolah-sekolah (khususnya di kampung saya) yang "membeli" murid untuk bersekolah di lembaganya. Paling tidak, sekolah sedikit cerdas untuk menyiasati rumor tak sedap itu.