Lihat ke Halaman Asli

tukiman tarunasayoga

Pengamat Kemasyarakatan

Kritik Itu Ibaratnya "Setan Gawa Ting"

Diperbarui: 29 Juni 2021   08:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Kritik itu Ibaratnya "Setan gawa ting"

JC Tukiman Tarunasayoga

            Dalam SuaraBaru.ID tanggal 9 Juni 2020, -satu tahun lalu- , saya memilih judul  Mari Kritis Membahas KRITIK dan di alinea pertama saya tulis bercetak tebal  "Saya ingin mengawali uraian ini dengan tesis berikut: Sejatinya yang sering disebut-sebut dengan "kritik konstruktif" atau "kritik membangun" itu tidak ada. Kritik tidak mungkin konstruktif, dan kalau orang memang inginnya mau "membangun," ya jangan dengan kritik."

            Landasan pikir saya sangat sederhana, yakni merujuk kamus, dan saat itu saya katakan secara berkelakar, jika Anda meragukan  apa yang ditulis dalam  kamus resmi, ya gawea kamus dhewe (buatlah sendiri kamus baru). Pada alinea ketiga, saya menulis: Kritik (lihat KUBI, 1976. Hal 527) berarti dua, yakni (1) genting, kemelut, sangat berbahaya (menyangkut keadaan), dan (2) celaan, kecaman, sanggahan. Arti pertama  berkembang senada dengan kritis, sedangkan arti kedua sudah  menegaskan bagi kita betapa tidak ada yang disebut kritik membangun/konstruktif itu.

Mana mungkin sebuah celaan, kecaman  bermakna, bersifat, atau berisi membangun? Kalau saya mengecam atau mencela dandanan istri pagi ini begitu norak, jelek; atau pelatih sepakbola mengecam seorang pemainnya "Kamu kok goblog sekali!!";  apakah lalu istriku segera ke kamar berganti dandanan? Tidak. Dia pasti amat dongkol, bisa-bisa ngambeg sepanjang hari dan malam; sama halnya pemain sepakbola itu tidak akan sertamerta menjadi pinter atau larinya lebih laju  karena dikatakan goblog.  Kritik, karena berupa kecaman dan celaan, tidak akan membawa perubahan kearah sebaliknya dari yang dikecamkan atau dicelakan.

            Sekedar contoh, pendekatan kultural Jawa misalnya, lewat ungkapan-ungkapan khas seperti kiasan, pralambang, paribasan, dan sejenis itu, ingin menyampaikan pesan bahkan nilai sebagai ajaran dan peringatan moral.  Kalau mendengar atau membaca  ungkapan "Setan nunggang gajah"  (setan menaiki gajah), itu pasti sebuah peribahasa, sebuah perlukisan yang mempunyai makna, nilai atau pesan khas terkait perilaku orang/seseorang.  Nah ................. perilaku orang atau kelompok yang (suka) menyampaikan kritik, salah satu ungkapan khasnya ialah "Setan nggawa ting" (setan membawa lentera).

             Kritik itu ibaratnya "setan nggawa ting," kemana-mana membawa lentera, dan maknanya ialah "wong kang dhemen adu-adu lan adul-adul:" yakni, orang bisa juga kelompok, yang suka mengadu bahkan melaporkan dalam konteks memperuncing sesuatu.  Apa yang diadukan atau diperuncing itu?  Macam-macam, tetapi intinya pasti kritik, yaitu menyampaikan entah keadaan genting, kemelut, sangat berbahaya; ataupun  celaan, kecaman, sanggahan. Cara seperti itu, membangunkah? Bukan dan tidak!

            Persoalannya sekarang, apakah tidak boleh menyampaikan kritik? Boleh saja karena setiap orang atau pun kelompok memiliki kebebasan dan tujuan yang mau dicapai lewat perilaku atau sikapnya itu. Kalau memang tujuannya mau gawe rame, sensasional, atau trending dalam arti pasti menarik; ya sampaikanlah kritik, tetapi jangan lalu mengatakan "Saya konstruktif lho." Sebaliknya,  kalau tujuan utamanya ingin memberikan masukan (konstruktif) ya sampaikanlah saran.  Harap ingat, narasi kritik dan narasi saran amat berbeda;  saran itu pasti  narasinya tidak  berupa celaan, negatif, atau bahkan memberi label jelek seperti celaan atau protes yang saya lakukan terhadap istri dengan mengatakan "norak/jelek" tadi.

Simpulan saya, tidak ada kritik membangun;  lalu, bagaimana caranya memberikan masukan, koreksi, atau perbaikan agar terjadi perubahan konstruktif? Jawabannya, ya jangan lewat kritik, melainkan lewatlah cara lain yang memang menunjang tujuan, yaitu mau membangun dan mengubah. Kalau saya ingin besok pagi istri tampil cantik, ya katakan saja: Bu, baju dan dandanan seperti   kemarin itu tidak usah dipakai lagi, masih ada yang lain kan? Pelatih sepakbola tadi juga bisa mengemas masukan, koreksi atau pun perbaikannya dengan ungkapan yang tidak mengecam atau mencela, melainkan benar-benar sebuah perbaikan: "Coba pada saat kamu lari, condongkan kepala dan tubuhmu lebih ke depan lagi, pasti akan lebih kencang."  Ingat lho,  godaan setan yang gentayangan kemana-mana membawa lentera itu cenderung "merasuki" pikiran-pikiran destruktif  katimbang  yang konstruktif.

-0-




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline