Bernalar Kritis Vs Pola Asuh Berdamai (1)
JC Tukiman Taruna
Tantangan meningkatkan kompetensi peserta didik (siswa) di era pandemi Covid 19 ini, terletak pada tarik-menarik dua kutub, yaitu (a) kutub tetap penting merangsang siswa bernalar kritis, dan (b) kutub perlu adanya model pola asuh berdamai dalam diri guru dan orangtua.
Memang beberapa waktu yang lalu, Kemdikbud telah merumuskan tantangan peningkatan kompetensi peserta didik ke dalam enam ranah berikut: kreativitas, kolaborasi, kemampuan kerjasama, kemampuan memroses informasi secara kritis, kemampuan pemecahan masalah, dan kemampuan berempati. Waktu itu disebutkan, landasan untuk keenam ranah itu ialah perlunya seluruh proses pendidikan mengembangkan penalaran kritis bukannya hafalan.
Tegasnya, semua peserta didik di jenjang mana pun perlu didorong untuk semakin berkembang penalaran kritisnya dan jauhkanlah dari sekedar menghafal belaka. Di sinilah pola asuh guru dan terutama orangtua sangat besar kontribusinya, yaitu pola asuh berdamai.
Dilema besarnya ialah, di saat pandemi ini segala sesuatu tampaknya serba darurat, serba gerak cepat, dan serba harus mengambil keputusan. Bagaimana mungkin guru dan orangtua justru harus semakin berdamai (kompromi?) di kondisi serba berubah cepat ini? Artinya, dalam kondisi pandemi sekarang ini idealisme pembelajaran yang mengutamakan pengembangan penalaran kritis dan tidak sekedar menghafal "runtuh" dan serba dilematis bagi guru dan orangtua.
Bernalar kritis
Penalaran kritis atau bernalar kritis kiranya semakna dengan Analisis Wacana Kritis (AWK) atau dalam ungkapan lainnya disebut dengan Critical Discourse Analysis.
Shierly Novalita Yappy (Basis, No 07-08. 2019) menulis cukup panjang tentang AWK, intinya: AWK itu metode sekaligus teori, karena sebagai metode AWK itu menyediakan kerangka analisis, sedangkan sebagai teori AWK berfungsi sebagai alat mengintrepretasi sekaligus membedah pokok bahasan.
Misi utama yang diemban AWK ialah (a) membantu menyuarakan mereka yang "didiamkan," dan (b) memunculkan mereka yang "ditiadakan." Atas beban misi itu, maka tugas utama AWK adalah menelaah "dominance" atas banyak hubungan yang asimetris dalam kehidupan ini, seperti hubungan asimetris kekuasaan dan penyalahgunaannya, konsep kesetaraan dan fakta ketidaksetaraan, marginalisasi, dll.
Seperti ditulis Shierly, ada empat pilar AWK, yakni kritis, ideologi, kekuasaan, dan teks. Makna kritis, atau tepatnya menjadi kritis, sekurangnya memiliki pengertian berikut, pertama, orang akan bisa bernalar kritis jika mengambil jarak.