Lihat ke Halaman Asli

tukiman tarunasayoga

Pengamat Kemasyarakatan

Bahaya "Kepaten Obor"

Diperbarui: 30 September 2020   09:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Bahaya "Kepaten Obor"

Oleh Tukiman Tarunasayoga

Bacalah kepaten seperti Anda mengucapkan "Orang sesaleh beliau, mungkinkah  ...." atau "Sekaliber mantan panglima, mengapa tidak tahu peraturan?" Kepaten, -asal kata pati/mati- , berarti (mengalami) mati, dan ketika digabung dengan obor, -kepaten obor- , arti lurusnya ialah obor itu telah mati. Nah .......idiom kepaten obor bermakna kelangan lacak tumrap paseduluran, yaitu (siapa pun) dapat kehilangan jejak hubungan  persaudaraannya. 

Dalam konteks sejarah berbangsa dan bernegara pun, bukannya tidak mustahil kita bisa mengalami kepaten obor. Lihat saja misalnya betapa sampai saat ini masih sering disimpang-sengkarutkannya peristiwa 30 September, dalam kaitannya dengan Partai Komunis Indonesia waktu itu, serta terbunuhnya sejumlah perwira tinggi, dan lain sebagainya, dan lain seterusnya.

Intinya, peristiwa di tahun 1965 itu, -baru 55 tahun yang lalu- , rasanya perlu ditegaskan dan diluruskan secara historis untuk menghindari kepaten obor. Bukti adanya bahaya kepaten obor menggejala setiapkali tiba bulan September,  yang seharusnya berupa "September Ceria" justru sering menjadi "September selalu ada cerita" berhubung ada saja yang suka mengungkit, mengangkat, bahkan mengangkut kisah-kisah lampau itu seraya memutar ke kiri, menggesernya ke kanan, persis seperti gerakan tubuh ketika menyanyikan lagu Potong Bebek.

Kepaten obor dalam kaitannya dengan peristiwa 30 September 1965 memang sangat mungkin karena beberapa alasan. 

Pertama, (mungkin) ada kesengajaan oleh pihak tertentu fakta sejarahnya dikaburkan atau disamarkan. Mengapa? Kosakata paling menakutkan dan gawe tintrim selepas peristiwa waktu itu ialah "Tersangkut G30S/PKI." Siapa saja waktu itu (bahkan masihkah sampai sekarang??) berusaha sekuat tenaga dan kemampuan agar anggota keluarga tidak ada satu pun yang kena cap "tersangkut G30S/PKI." 

Jika terjadi ada salahsatu anggota keluarga terkena/tersangkut, sertamerta ada upaya dia yang tersangkut itu "dikeluarkan" dari garis hubungan persaudaraan, entah dengan cara apa pun. Mengapa sedemikian tragiknya?  Karena, begitu ada anggota keluarga dinyatakan tersangkut, seluruh keluarga besarnya, bahkan sampai anak cucu keturunannya, akan terkena imbas tersangkut, dan sulit mendapatkan "tempat berlabuh," bahkan untuk hidup sewajarnya pun tertutup. Ngeri memang.

Kedua, atas "tragika" yang disebutkan di atas, kepaten obor sudah dapat dan mudahlah dibayangkan, yakni adanya penghilangan jejak secara sistemik, sehingga menyulitkan menelisik siapa domba dan siapa pula musang atau bahkan serigala. Orang yang di September ini teriak-teriak tentang bahaya kebangkitan komunisme, atau mereka yang diam saja seolah-olah tidak melihat apa pun; sama-sama samar dan kabur terkait ada tidaknya sangkut pautnya dengan "garis keturunan/persaudaraannya" dengan tragedy 30 September itu.

Dan ketiga, akumulasi traumatik baik karena alasan pertama maupun alasan kedua di atas, saat ini telah menjadi pengetahuan "sepihak" saja berhubung telah terjadi alih generasi. Kita lihat saja betapa mereka yang meributkan adalah "pihak tertentu" karena pernah mengalami, merasa menjadi korban, dan hal senada dengan itu; sementara banyak pihak yang diam bahkan bertanya-tanya mengapa selalu ribut sih, karena memang kurang tahu duduk perkara sebenarnya.

Atas tiga analisis di atas, lagi-lagi dalam rangka menghindarkan diri dari bahaya kepaten obor, kiranya perlu ada beberapa curah pendapat berikut. Satu, sejarah "apa adanya" terkait peristiwa 30 September 1965 perlu ditulis ulang lewat peninjauan peristiwanya. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline