Lihat ke Halaman Asli

tukiman tarunasayoga

Pengamat Kemasyarakatan

Mencela, Ternyata "Mada Kawongan"

Diperbarui: 20 Agustus 2020   06:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Mencela, Ternyata "Mada Kawongan"

Oleh: Tukiman Tarunasayoga

Beberapa tahun lalu, ketika bangunan tempat belanja modern seperti mal, mini market dan sejenisnya bermunculan; timbul kekhawatiran serius betapa segera akan matinya pasar tradisional. 

Terbukti memang, beberapa saat pasar tradisional sepi pembeli, namun sebutlah hanya seumur jagung saja, karena sesudah "godaan itu lewat," pasar tradisional ramai pembeli lagi. Ramai kembalinya pasar tradisional juga karena ada kebijakan baik dari Pemerintah maupun Pemda membangun fisik pasar menjadi lebih bersih, tertata, dan menarik.

Ternyata, mal, pasar swalayan, mini market terang benderang dengan puluhan lampu itu terbukti sebagai "penggoda sejenak saja," dan setelah lewat, pasar tradisional tetap kembali eksis dan akan terus eksis sampai kapan pun. 

Mengapa? Jawabannya ialah, siapa pun tidak rela dan tidak mau kehilangan nilai-nilai sosial pasar, seperti tegur sapa, tawar-menawar harga, bercengkerama, harga "miring" dan lain sebagainya. Intinya, pasar tradisional adalah "medan bersosialisasi" secara langsung, mudah, murah, egaliter, sangat ramah, dan jangan lupa singkat padat bermakna.

Tawar-menawar  

Satu aspek bernilai sangat berarti, mendalam, dan dirindukan  dari pasar tradisional ialah adanya transaksi dan tawar-menawar yang berlangsung secara terbuka, langsung, serta masif. 

Di pasar tradisional tidak ada kegiatan (apa pun) terbebas dari transaksi penuh tawar-menawar  dan siapa pun boleh tahu, mendengar, melihat, termasuk nimbrung pun boleh. 

Calon pembeli cabe rawit dapat secara bebas menawar harga tanpa "batas bawah," dan kalau tiba-tiba datang calon pembeli lain, ia dapat saja langsung menimpali seraya mencela kualitas cabe itu: "Cabemu kecil-kecil kok mahal, di sana tadi apik-apik murah." Mendengar celaan seperti itu, penjual dapat saja secara enteng menanggapi: "Nggih mpun ta, borong saja yang di sana."

Tawar-menawar di pasar tradisional pasti disertai mencela barang dagangan oleh calon pembeli; mana mencela "Salak kok cilik-cilik kaya rambutan,"  bahkan tidak jarang celaannya kebangeten sampai-sampai membawa-bawa atau menyebut sekecil ingus (maaf upil), atau "barangmu kok elek-elek ta, Yu." 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline