Lihat ke Halaman Asli

Rena

nama asli

Demontrasi Nalar

Diperbarui: 30 September 2019   09:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokpri




Jalanan siang ini(hari kedua demonstrasi) kadang sepi, kadang dipenuhi mahasiswa berjasalmamater yang bergerombol menggunakan sepeda motor. SATPOL PP, Dishub sertaPolisi standby disetiap persimpangan. Menunggu gerombol mahasiswa itumelintas, mereka minum kopi, dan mengobrol. Hari ini bisa jadi hari yang biasasaja bagi mereka. Tugas mereka, menjaga keamanan. Jika ada satu chaos,mereka di latih untuk mampu mengendalikannya, sekalipun sesekali mereka harusmelukai si pembuat chaos. Tangan mereka, adalah tangan yang bisadibenarkan jika melakukan kekerasan.


Hari ini, bukan hariyang biasa bagi gerombolan mahasiswa itu, juga bagi saya yang bukan lagimahasiswa. Ada tanggung jawab pekerjaan yang saya emban. Pekerjaan apa? Sayalebih senang untuk tidak dibahas. Pekerjaan saya membuat saya tidak bisamenetap di satu tempat. 


Saya menyusuritrotoar siang itu, merekam beberapa fenomena yang terlihat, mengabadikannyadalam gambar yang saya simpan sendiri, untuk cerita saya sendiri. Kota bekerjasebagaimana mestinya hari itu. Supermarket masih didatangi para ibu-ibu rumahtangga kelas menengah. Tak terlihat adanya rasa hawatir di wajah mereka. Namun,saya lihat kehawatiran ini terekspresikan di raut wajah saya, saat sayaberjalan melalui cermin supermarket.


Ada kawan-kawan yangmungkin berada di barisan depan demonstrasi hari ini. Saya harap mereka tidakkena pukul, dan tahu kapan waktunya mundur, karena aparat pasti sangatberingas.


Lebih dari itu,kehawatiran saya berupa pertanyaan terhadap diri sendiri. Benar, saya melamunsejenak di depan cermin supermarket, bagian buah-buahan, menghalangi ibu-ibuyang berbelanja di area itu.

 Saya bertanya padadiri sendiri,


Apa yang sayalakukan, menyusuri panas terik matahari di tengah kota, sedangkan kawan-kawansaya mengambil resiko, turun ke jalan, bisa sakit, terluka, bahkan terbunuh.Sekalipun saya di jalan, bersama gerombolan mahasiswa hari itu (di trotoar),saya tidak bersuara, hanya melihat bagaimana jalanan hari itu menjadi panggungmilik mereka. Mereka tidak takut gas air mata. Tapi saya yakin mereka takutmati. Sama seperti saya.


Siapa yang tidaksenang berteriak, memaki, menuntut, apa lagi jika teriakan, makian dan tuntutantersebut merupakan aksi yang berdasarkan konteks waktu sangatlah benar untukdilakukan. Di afirmasi oleh kawan yang lain, dan di tunggu-tunggu oleh masarakyat keseluruhan? Ibarat balon gas, dia sudah dipenuhi gas, dan tinggal diterbangkan.


Jiwa muda adalahjiwa-jiwa yang mencari pengakuan, jati diri sudah mereka temukan kali ini.Sekalipun tidak seluruhnya. Kini mereka berkawan satu sama lain, terfasilitasioleh keadaan yang genting, perihal regulasi yang sewenang-wenang, dibuat olehorang-orang sinting. Begitu katanya. Setidaknya, menurut saya.

 

Kadang saya mengakui,jiwa muda saya mungkin sudah tidak ada lagi. Atau, jiwa muda ini bukan jiwamuda seperti mereka, lagi?

 

Jujur, ada pertanyaanbesar dikepala saya, yang lebih penting dari teriakan kawan yang jadi rajajalanan sehari, yaitu : sejauh mana mereka paham dan mengerti dampak dari regulasiyang dibuat oleh orang-orang sinting itu?

 

Sudahkah merekabicara soal ini? Akan adakah konflik vertikal (antar masyarakat) jikaregulasi-regulasi tersebut disahkan. Jika ya, konflik vertikal macam apa?Sudahkah ini di bahas sebelum mereka menguasai jalanan, dan kehilangan beberapakawan? Saya pikir ini adalah proses demokrasi yang sebenarnya, sesuai denganfalsafah negara : musyawarah mufakat.

 

Namun saya sadartidak ada waktu untuk itu. Menjelang pengesahan regulasi baru, tak ada waktuuntuk bermusyawarah. Seharusnya sebelum disahkan, kita sudah tahu butir-butiryang akan disahkan itu, namun saat itu media dipenuhi peristiwa kebakaranhutan. Harapan saya, media seharusnya dipenuhi oleh berita rancangan regulasitersebut.Namun berita tersebut tidak menyebar seperti berita kebakaran hutan. ApakahMedia sengaja tidak menyiarkannya, atau kah pemerintah yang membuat regulasisecara diam-diam? Lantas media berbaris dengan mahasiswa-mahasiswa itu,meneriakan demokrasi telah mati. Sama-sama menuntut pemerintah... jujur, sayasedikit mencurigai media. Bukan menyalahkan media.

 

Teriakan lantang itubagus. Namun, teriakan lantang berdasarkan asumsi, atau karena dikompori, ataukarena yang lain berteriak lantang, tanpa paham dampak nya, atau hanya sekedar mencaripengakuan, bagi saya adalah semangat juang yang tidak benar, bisa dibilangsemangat juang semu, hanya emosi belaka.

 

Saya tidak inginmenerapkan itu kepada kawan-kawan. Ini saya berlakukan terhadap diri sayasendiri. Dimana, saya ingin tahu jelas duduk permasalahan, dampak, sampai otakini benar-benar tidak ragu lagi, baru saya akan keluarkan suara saya, bersamaorganisasi masa tersebut.


Mohon maaf, sayamungkin terlampau sombong dan idealis. Karena teriakan dijalan yang keluar darimulut saya, sangat berharga bagi saya. Harga yang harus dibayar adalah kepuasannalar mengenai duduk permasalahan dari A sampai Z. Jadi, saya punya alasanmengapa saya tidak berlari menjadi ratu jalanan pada waktu itu. Dan saya jugaakan punya alasan yang kuat, kelak, jika ada satu kesempatan saya meratuijalanan.


Dari segala keraguanini, tetap saya merasa bangga dengan kawan-kawan. Terlepas dari apakahkawan-kawan benar-benar paham atau tidak, saya yakin, itu bukan urusan saya.Itu menjadi urusan kawan-kawan dengan nalar nya.

 

Sebagai penutup,

 

Saya mengalami krisiskepercayaan, bahkan terhadap Tuhan. Krisis kepercayaan ini terbentuk karenaperistiwa traumatis saat orang yang benar-benar saya percaya akan melindungisaya (ayah saya sendiri), justru adalah orang yang menyiksa dan membuat hidupsaya menderita pada waktu itu. Begitu pula saat saya ragu, saya tidak maumemberikan apa-apa, bahkan suara saya, ini semata-mata karena saya tidakpercaya penguasa, juga organisasi masa.


Mungkin Belum.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline