Lihat ke Halaman Asli

Gian Darma

wiraswasta

Lebaran Ketupat dan Fondasi Kokoh Kita

Diperbarui: 16 April 2024   11:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

RRI.co.id

Hari ini adalah hari ke delapan setelah Idulfitri di penanggalan Islam, atau 16 April 2024 atau sama dengan delapan syawal. Hari kedelapan syawal ini, di beberapa daerah di Jawa sering dirayakan lebaran ketupat, dimana orang-orang memasak ketupat untuk dimakan bersama anggota keluarga.

Beberapa pihak menganggap hari raya ketupat adalah bukan ajaran dari Nabi Muhammad. Bahkan beberapa kalangan juga menganggap bahwa hari raya ketupat adalah bi'dah karena tidak mengajarkan inti ajaran Islam.

Di beberapa kota besar seperti Jakarta, Banten dan sekitarnya, ketupat disajikan pada hari pertama Idul Fitri , dan disajikan kepada sanak keluarga dan para tamu yang datang berkunjung. Namun di beberapa daerah dan kota kecil di Indonesia (apalagi di pedesaan) ketupat disajikan tujuh hari setelah Idul Fitri. Inilah yang menyebabkan seakan Idul Fitri terjadi dua kali sehingga beberapa orang menganggapnya bi'dah.

Namun sejatinya hari raya ketupat ini adalah tradisi atau turats yang sudah dilakukan sejak beratus tahun silam atau dinamakan tradisi lama yang timbul dan berkembang di Nusantara (Indonesia).

Wali Sanga dalam hal ini Sunan Kalijaga adalah orang yang mengenalkan ketupat dalam Sejarah dan perkembangan Islam di Nusantara. Ketupat adalah perlambangan dari sikap ksatria yang dicoba ditanamkan kepada masyarakat oleh para pemrakarsanya seperti Sunan Kalijaga itu. Ketupat jika dipanjangkan adalah akronim dari ngaku lepat (mengaku bersalah). Sehingga dengan menyajikan dan memakan ketupat sama halnya dengan sang penyaji atau pemakan punya sikap ksatria untuk mengakui segala kesalahan dan meminta maaf kepada orang yang terkait.

Sikap ksatria ini merupakan resolusi konflik paling awal sekaligus ujung dari dialektika konflik, baik konflik personal maupun intrapersonal. Ketika individu yang berkonflik telah mencapai pada kesadaran ngaku lepat, dan kemudian meminta maaf untuk mengakhiri konflik, maka dinamika konflik mencapai ide absolut.

Lebaran ketupat dan beberapa tradisi lain yang melekat pada masyarakat Indonesia seperti silaturahmi dan mudik adalah kearifan lokal yang punya imbas yang positif baik bagi ajaran Islam sendiri dan sesama warga yang non islam. Ketupat (dan tradisi lain yang mengadung kearifan lokal) tidak membawa mudarat bagi siapapun.

Lebaran ketupat, pulang kampung, halal bihalal bisa juga diterjemahkan sebagai persatuan dan kedamaian di tengah perbedaan. Semua terlibat, muslim maupun umat lain; mereka juga pulang kampung. Dngan kegiatan-kegiatan ini bangsa kita memperlihatkan bahwa kita mampu mengelola perbedaan dan akhirnya menjadi kekuatan bangsa. Dengan kesadara dan bersatu di tengah perbedaan kita sama saja dengan membangun fondasi kokoh demi masa depan yang lebih baik dan harmonis.

Selamat lebaran ketupat !

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline