Lihat ke Halaman Asli

Tuhu Nugraha Dewanto

Principal of Indonesia Applied Digital Economy & Regulatory Network (IADERN)

Online Crisis: Bagaimana Menghadapinya?

Diperbarui: 24 Juni 2015   17:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1362159721683443067

[caption id="attachment_246446" align="aligncenter" width="591" caption="Ilustrasi/ Admin (shutterstock)"][/caption] Beberapa hari yang lalu, dunia online kembali geger hanya karena sebuah posting di blog. Kali ini brand yang terkena imbasnya adalah Indomie, artikel lengkapnya bisa dibaca di sini. Kasus ini akhirnya bisa diselesaikan dengan baik, dan bloggernya pun akhirnya menulis tentang itu di artikel ini. Kasus ini sangat menarik, saya bukan membahas tentang siapa benar atau salah. Tapi yang jelas krisis yang awalnya muncul dari curhat sepele, bisa berdampak begitu besar bagi brand Indomie, karena dibiarkan berlarut dan panjang. Perlu diingat hal ini  akan sangat mudah terjadi oleh brand mana pun, kapan pun, di mana pun. Celakanya banyak brand, dan mungkin tim PR-nya belum punya prosedur, dan pemahaman bagaimana menangani persoalan ini. Menurut saya ada beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk menangani dan mengantisipasi dampaknya agar online crisis ini tidak menyebar luas, dan berdampak buruk: Respon dengan Cepat Hal pertama yang perlu dipahami, di digital semua berjalan sangat cepat ibarat bola salju. Responnya harus sangat cepat, kalau menunggu dari rapat ke rapat, atau persetujuan hingga ke CEO, maka prosesnya akan panjang. Semakin perusahaan tidak menanggapi, maka isu akan makin meluas dan melebar. Berbagai prasangka akan bermunculan. Contoh kasus yang paling telak, masih ingat ketika Mario Teguh dihajar massal di Twitter hanya karena satu update Twitter, lalu dia tidak merespon? Dan beritanya menyebar kemana-mana hingga masuk juga ke televisi dan media cetak. Jangan Hilangkan Jejak Akibat kepanikan, apa yang sering dilakukan oleh pihak brand adalah menghapus jejak. Menghapus tweet, video dll yang menjadi sumber masalah. Apakah masalah akan selesai? Justru sebaliknya api akan makin membara, mengapa? Karena di digital kita tidak bisa mengontrol opini. Kalau pun dihapus, di internet sudah tersebar screen shotnya yang akan menyebar luas, apabila netizen tahu brand sengaja menghapus untuk menghilangkan jejak. Minta Maaf, Bukan Mencari Kambing Hitam! Sebenarnya konsumen Anda itu sadar brand itu juga nggak sempurna amat. Jadi jangan takut untuk mengakui kesalahan. Akui saja kesalahan, dan terima tanggung jawab ini akan lebih simpatik, dibanding mengarang cerita bahwa ada sabotase dll. Coba baca komentar tentang online crisis Domino's Pizza ini, dikritik karena berusaha untuk cuci tangan dari masalah. Petinggi Perusahaan Turun Langsung Ketika workshop Fast Track Digital Econsultancy di Jakarta bulan Januari lalu, ada simulasi menghadapi online crisis ini. Sangat menarik studi kasusnya adalah KFC Malaysia, yang kejadiannya mirip Domino's Pizza ada karyawan nakal yang mengotori makanan yang disajikan ke pelanggan. Lihat videonya di sini. Tapi cara menanggapi online crisis ini dari pihak KFC Malaysia jauh lebih elegan, mereka meminta maaf, mengaku bertanggung jawab. KFC berjanji akan membuat sistem yang lebih baik, dengan langkah-langkah yang telah diambil. Para petinggi KFC Malaysia langsung turun tangan membuat video di official Youtube channel KFC, videonya ada di link ini, dan yang ini. Jadi tidak bisa lagi para petinggi perusahaan bersembunyi di balik tim PR. Mereka harus turun langsung berdialog, karena sekarang kan eranya pemasaran horizontal Satu Pintu Opini Perusahaan Dalam keadaan krisis, maka obrolan akan menyebar. Orang-orang yang terlibat dalam organisasi mungkin juga akan diserang dan ditanya-tanya oleh kolega, teman dll. Hal yang harus dilakukan, berikan himbauan dan perintah agar mereka tidak memperkeruh masalah. Bisa saja karena emosi lalu membela, yang ada malah memperkeruh masalah. Buatlah satu pintu yang menjadi juru bicara mewakili brand dan perusahaan. Atau kalau ini susah dikontrol, maka sebarkan pernyataan resmi perusahaan ke semua karyawan. Agar jawabannya semua akan seragam tidak membuat makin keruh. Respon juga beragam opini yang bermunculan dengan akun resmi perusahaan, untuk menunjukkan perusahan peduli dan empati, dan jawabannya seragam. Langkah-langkah ini tentunya akan membantu meredam krisis yang lebih luas. Social Media Standard Operating Procedure (SOP) Ini hal kecil yang sering kali terlupakan. Bahwa brand harus menetapkan SOP yang jelas dalam hal apa yang boleh dilakukan oleh karyawan mereka di social pribadinya, dan juga bagaimana social media adminnya dalam mengelola social media brand. Karena dipikir social media soal sepel, seringkali tidak ada SOP yang jelas. Celakanya seringkali online crisis justru terjadi akibat ulah internal perusahaan, bukan gugatan dari konsumen di social media. Online Reputation Management Banyak brand di Indonesia yang belum menyadari pentingnya hal ini, hingga tiba saatnya mereka tersungkur dalam krisis. Ini sebaiknya sudah dilakukan secara reguler untuk bisa mengendus dan mengantisipasi hal-hal yang berpotensi menjadi isu negatif . Brand-brand yang sangat rentan pada isu negatif seperti industri finansial, farmasi dll sangat disarankan untuk melakukannya secara reguler. Ada hal lain yang mau ditambahkan?

Tuhu Nugraha Dewanto

Mau diskusi lebih lanjut?

Follow on Twitter: @tuhunugraha

LinkedIn: http://www.linkedin.com/in/tuhunugraha

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline