Lihat ke Halaman Asli

Tuhu Nugraha Dewanto

Principal of Indonesia Applied Digital Economy & Regulatory Network (IADERN)

Fenomena Bunda Jie & Digital Marketing

Diperbarui: 25 Juni 2015   01:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mungkin beberapa dari Anda sudah pernah tahu tentang video Bunda Jie, dan ada juga yang mungkin baru pertama kali dengar mengenai video ini. Kejadiannya sebenarnya sederhana, dan mungkin bukan hanya terjadi di Anak Baru Gede (ABG) jaman sekarang, era sebelumnya juga banyak yang begini. Namun masalahnya hal ini divideokan dan di upload ke Youtube. Singkat cerita video ini adalah sebuah testimoni dari  ABG  lugu di daerah, untuk memperingati tanggal jadian. Namun menjadi viral karena keluguan dari ABG yang ada di video ini, plus ekspresinya yang gak kalah lugu, akan menjadi sarang empuk korban bullying. Ada beberapa insight menarik dari video ini, yang perlu diperhatikan oleh pemasar: Digital Native Citizen ABG ini punya perilaku agak berbeda dengan generasi sebelumya, kalau generasi sebelumnya mengekspresikan sesuatu via surat, puisi dll, dan generasi berikutnya misalnya via chat dan e-mail. Generasi ABG masa kini itu sangat fasih menggunakan video. Jalan-jalan direkam pake video, nyanyi-nyanyi juga direkam video,  hampir semua direkam dalam bentuk video. Pernah terlibat dalam sebuah kampanye brand yang mereka diminta mengirim testimoni video, dan brand manager-nya terkaget-kaget "Mereka sama sekali gak canggung ya depan kamera?" Dalam hati sepertinya emang beda generasi, termasuk dengan generasi saya pun sudah jauh berbeda. Intinya mereka ini adalah generasi yang makin narsis dan ekspresif, karena memang mediumnya memudahkan untuk itu, sekaligus menjadi standar sosial di komunitasnya. Kalau nggak narsis dianggap kurang gaul, ketinggalan jaman dll. ABG Kehilangan Arah di Social Media ABG yang super narsis plus cara berpikirnya yang sebenarnya masih anak-anak, walaupun merasa dewasa ini sebenarnya sangat berbahaya di social media. Mengapa? ABG kadang tidak tahu bahaya yang megintai di social media, misal saja kasus Bunda Jie. Dia berpikir ini video hanya untuk pacarnya, sah-sah aja donk? Tapi dia lupa ketika ditaruh di Youtube maka video ini bukan lagi hanya menjadi punya dia, dan pacarnya, tapi akan menjadi konsumsi publik. Semua orang bisa melihat, lalu kemudian akan mem-bully, yang akan berpengaruh negatif buat dia secara psikologis. Mereka belum memahami tentang privasi, dan batasan-batasan yang seharusnya mereka terapkan di social media. Karena sekali mereka melepasnya ke publik, ada beragam konsekuensi, termasuk komentar miring yang tidak terpikirkan sebelumnya. Selain kasus video Bundajie, banyak  asus lain misalnya penculikan anak-anak usia ABG yang dilakukan via Facebook, atau yang minggat melarikan diri dengan pacar yang ketemu via Facebook, yang mereka belum tentu mengenal latar belakangnya. Di sisi lain orang tua dan guru  tidak bisa memberikan pengarahan atau pendampingan untuk menjelaskan soal ini. Karena orang tua dan gurunya, lahir sebagai generasi digital migrant. Mereka masih tergagap-gagap untuk memahami social media. Bahkan banyak pula yang mungkin masa bodoh, menganggap ini hal yang gak penting. Lalu maka lengkaplah sudah, ABG-ABG ini mengekspos semua ekspresi dan kehidupan pribadinya tanpa filter, dan diluaran sana mereka sangat rentan terhadap berbagai bahaya mengintai mulai dari di bully, sampai kriminalitas. Mereka adalah generasi yang kehilangan arah di social media... Apa yang bisa dilakukan brand dalam hal ini? Brand bisa menjadi mediator untuk mengedukasi orang tua dan juga ABG mengenai narsis tapi yang positif di social media. Bahwa mereka harus paham social media secara lebih luas, curhat di social media tidak sama dengan di diary. Karena di social media akan mengundang banyak komentar dari orang-orang, yang mungkin tidak diinginkan. Engagement ini akan lebih tulus untuk membangun interaksi dengan ABG sebagai target audiensnya, atau dengan orang tuanya sebagai pengambil keputusan pembelian produk-produk buat anaknya. Karena era digital marketing, interaksi antara brand dan audiensnya tidak melulu hanya bisa dibangun dengan kontes foto, bagi-bagi hadiah, update status. Melakukan edukasi, dan menjadi brand yang asprasional memahami kebutuhan mereka ini juga akan meningkatkan citra positif brand, dan loyalitas konsumen pada produknya.

Tuhu Nugraha Dewanto

Follow on Twitter: @tuhunugraha LinkedIn: http://www.linkedin.com/in/tuhunugraha

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline