Lihat ke Halaman Asli

Tuhu Nugraha Dewanto

Principal of Indonesia Applied Digital Economy & Regulatory Network (IADERN)

ABG dan Social Media: Intention Seeker

Diperbarui: 25 Juni 2015   06:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13344662102060142752

Mereka yang follow Twitternya Aurel Hermansyah, akan paham betapa galau dan terlihat begitu sulit kehidupan ABG masa kini. Isinya sebagian besar sedih berantem ama pacar, putus dll. Itu mengapa Aurel sering kali menjadi bulan-bulanan di Twitter. Fenomena ini menurut saya sangat menarik. Karena ini terjadi bukan hanya pada Aurel. Buat yang belum tahu siapa Aurel, dia adaalah penyanyi baru, anak dari pasangan selebritis ternama negeri ini, Anang Hermansyah dan Krisdayanti. Saya menemukan beberapa kontak BBM teman yang masih ABG dan Remaja, perilakunya nggak jauh berbeda, statusnya galau setengah mati, profil foto sering kali berganti dengan beragam pose menggambarkan suasana hati. Saya sempat bertanya, ada masalah apa kok statusnya galau? Jawabannya "Nggak ada lagi pengen aja". Setelah ditelisik lebih jauh, dengan status galau, maka akan menarik perhatian teman-temannya untuk komentar,  yang serius atau bercanda. Dan bagi mereka ini adalah sebuah kepuasan dan tolok ukur keberhasilan. Hal ini diperkuat dengan pengamatan di FGD beberapa bulan lalu yang saya ikuti. FGD yang dilakukan ingin melihat perilaku konsumen di social media brand. Saya sempat terkaget-kaget, di FGD ini para remaja ini bilang kalau mereka akan "like" status FB-nya sendiri atau bahkan dihapus apabila tidak ada temennya yang merespon. Makanya akan lebih banyak status galau, karena yang beginian akan lebih cepat mendapatkan respon. Saya mendadak langsung berkata dalam hati "aha..." ternyata segitu pentingnya komentar di FB status bagi para remaja ini. Sesuatu yang bagi saya itu tidak penting, dan tidak ada pengaruhnya Dari ketiga temuan ini, saya kemudian melihat ada sebuah psikografi yang menarik yang menghubungkan ketiga profil remaja ini. Mereka menggunakan social media, bukan hanya untuk mencari teman, ngobrol dll, tapi untuk menarik perhatian orang lain pada dirinya. Terutama menarik perhatian teman-temannya. Mereka lebih agresif untuk berkompetisi menarik perhatian teman-temannya. Karena ini bagian dari proses memperoleh pengakuan. Lalu apa konsekuensinya bagi digital strategy brand? Dan mungkin lebih spesifik lagi kita berbicara bagaimana social media strategy untuk audiens remaja? Engagement yang dibangun, dan juga kampanye yang dibuat apabila mentarget audiens ini, harus memenuhi aspirasi mereka untuk menjadi pusat perhatian teman-temannya. Pendekatan yang seperti ini kemungkinan besar akan berhasil, dan membuat mereka senang melakukannya. Terkadang bagi audiens hadiah yang gede itu bukan hal yang utama, dan memotivasi. Tapi sebuah program kampanye yang bisa memenuhi aspirasi merekalah yang akan membuat kampanye yang digulirkan akan disukai, dan menciptakan engagement dengan brand, dan bahkan bisa terjadi word of mouth (WOM). Hadiah yang besar sebenarnya hanya akan menarik para Quiz Hunter yang selalu setia berburu hadiah di berbagai brand, dan pemenangnya hanya akan seputaran itu lagi. Sementara engagement terhadap brand yang kita harapkan juga tidak akan tercapai. Hal kedua setelah memahami kampanye seperti apa yang akan membuat mereka tertarik. Ketika mengkomunikasikannya di social media juga harus menarik. Karena konsep yang bagus, tapi dikomunikasikan asal-asalan maka hasilnya juga gak akan maksimal. Misalnya coba rasakan mana yang akan lebih menarik perhatian remaja dari dua kalimat ini "Yuk ikutan kuis kita, seruuu lho kita punya banyak hadiah", bandingkan dengan ini "Kita nantangin loe, siapa yang paling eksis diantara kalian. Ajakin temen loe, dan liat peringkat loe di leaderboard!" Tentu saja yang kedua akan lebih menarik, karena lebih memahami aspirasi dan kebutuhan mereka untuk menjadi pusat perhatian. Kebutuhan untuk diakui yang begitu mendesak, dan kompetisinya makin terbuka di social media, karena semua teman-temannya bisa saling mengintip dan bisa dihitung. Apakah menemukan hal yang serupa juga? Setuju dengan pendapat saya ini? Mari kita berdiskusi.

Tuhu Nugraha Dewanto

Social Media Head, NB Agency Asia Follow on Twitter: @tuhunugraha LinkedIn: http://www.linkedin.com/in/tuhunugraha

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline