Dalam sebuah kesempatan, yakni saat membuka Rapat Kerja Kementerian Perdagangan 2021 (Kamis, 4/3/2021), Presiden Joko Widodo mengajak semua pihak untuk bangga dan cinta produk-produk dalam negeri.
Jokowi mengatakan, penduduk Indonesia yang jumlahnya lebih dari 270 juta jiwa seharusnya loyal atau lebih mengutamakan produk lokal, ketimbang buatan asing atau negara lain.
"Branding harus melekat agar masyarakat lebih mencintai produk Indonesia dibandingkan produk luar negeri. Karena penduduk Indonesia, penduduk kita berjumlah lebih dari 270 juta jiwa. Seharusnya adalah konsumen yang paling loyal untuk produk-produk sendiri," ujar Jokowi.
Tidak hanya itu, Jokowi berharap, wujud nyata kecintaan masyarakat harus sampai pada sikap "membenci" produk-produk luar negeri. Beliau meminta ada gaungan atau ajakan tentang hal ini.
"Ajakan-ajakan untuk cinta produk-produk kita sendiri, produk-produk Indonesia harus terus digaungkan. Produk-produk dalam negeri gaungkan! Gaungkan juga benci produk-produk dari luar negeri. Bukan hanya cinta, tapi benci. Cinta barang kita, benci produk dari luar negeri," tambah Jokowi.
Hemat saya, apa yang dikatakan Jokowi sungguh baik, mengandung semangat untuk menghidupkan perekonomian nasional. Sebab fakta menunjukkan, tidak sedikit masyarakat Indonesia yang bangga menggunakan produk berlabel asing.
Namun demikian, ada beberapa hal yang menurut saya perlu dipertimbangkan serta diperjelas oleh Jokowi, supaya masyarakat (konsumen) dan pengusaha (pelaku bisnis) tidak memahaminya secara keliru. Antara lain:
Pertama, produk atau jenis barang apa saja dari luar negeri yang wajib dibenci. Sebab, jangan-jangan microphone yang digunakan Jokowi saat berpidato adalah buatan asing. Apakah benda itu termasuk produk yang mesti diboikot?
Maksudnya, mustahil ada negara yang mampu memproduksi seluruh barang kebutuhan rakyatnya. Maka, apakah artinya kita (masyarakat dan pengusaha) berkenan sabar menunggu benda sejenis buatan dalam negeri?
Baiklah, mungkin maksud Jokowi, microphone dan alat-alat canggih lainnya termasuk pengecualian. Lalu, bagaimana dengan "kisah" impor kedelai jutaan ton tiap tahun?
Bagaimana pula dengan peniti yang masih "Made in China"? Sudahkah negara kita berhasil menyediakan peniti buatan sendiri? Benda ini padahal amat remeh, dan tidak terlalu sulit diproduksi. Tetapi coba cek di pasar maupun warung, tidak ada peniti yang "Made in Indonesia".