Lihat ke Halaman Asli

Tuhombowo Wau

TERVERIFIKASI

Kompasianer

Sulaplah Gedung Sekolah Nganggur Itu Jadi Rumah Sakit Darurat

Diperbarui: 26 Januari 2021   16:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gedung-gedung sekolah sunyi tanpa penghuni selama pandemi Covid-19 | Foto: Bisnis.com

Sejak 2 Maret 2020, Indonesia "resmi" dilanda pandemi Covid-19. Artinya, sampai sekarang sudah berjalan lebih dari sepuluh bulan. Jumlah korban terpapar cukup banyak, dan mungkin akan semakin banyak.

Kasus positif hari ini, Selasa (26/1/2021) ternyata sudah mencapai 1.012.350, terjadi penambahan sebanyak 13.094 kasus, di mana kemarin masih 999.256 kasus.

Entah sampai kapan pandemi berakhir, yang pasti hikmah kehidupan yang "ditawarkannya" tidak boleh kita abaikan. Pandemi mengajarkan kita untuk tetap bersyukur, menghargai kesehatan, serta memaksa agar bertindak inovatif dan kreatif.

Dua poin terakhir menarik, yaitu inovatif dan kreatif. Karena pandemi, teknologi di bidang kesehatan dan farmasi menjadi berkembang, maju beberapa langkah dibanding sebelumnya. Banyak perusahaan terkait berlomba menciptakan alat, vaksin, dan obat. Ini namanya inovasi.

Lalu bagaimana dengan sisi kreativitasnya? Ya, pandemi juga membuat kita berpikir keras, bagaimana memanfaatkan segala sesuatu yang kita miliki agar berguna dalam membantu penanganan pandemi.

Aksi sederhana menangani pandemi yakni tidak menjadi bagian dari penyebar virus. Maka dari itu, sebagian besar aktivitas, kita langsungkan dari rumah. Memfungsikan rumah sebagai tempat tinggal sekaligus ruang kerja atau belajar. Terpaksa kreatif. Kreatif terpaksa.

Kreatif berarti mencari solusi atas suatu kondisi yang serba terbatas. Tentu di antara Anda ada yang paham maksud tulisan ini, lewat judul "Sulaplah Gedung Sekolah Nganggur Itu Jadi Rumah Sakit Darurat".

Belakangan, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengeluh terbatasnya kapasitas ruang perawatan bagi para pasien Covid-19 di rumah sakit. Keterisian ruang disebut sudah lebih dari 80 persen. Mengapa?

Sebab, selain warga ber-KTP DKI Jakarta, para pasien juga ternyata berasal dari wilayah-wilayah kota penyangga, yaitu Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Ujungnya, Pemprov DKI Jakarta berencana "angkat tangan", dan meminta pemerintah pusat memegang kendali secara penuh.

Maksudnya apa ini? Mengapa Pemprov DKI Jakarta tidak berkoordinasi dengan Pemprov Jawa Barat dan Pemprov Banten untuk mencari solusi secara bersama-sama? Bukankah pemerintah pusat saat ini juga tengah pusing menangani musibah bentuk lain di berbagai daerah?

Khususnya Pemprov DKI Jakarta, mengapa tidak menyulap gedung-gedung milik pemerintah yang "tidak berpenghuni" untuk jadi rumah sakit darurat? Tidakkah dipikir bahwa Wisma Atlet di Kemayoran saja bisa difungsikan sementara sebagai tempat perawatan pasien?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline