Lihat ke Halaman Asli

Tuhombowo Wau

TERVERIFIKASI

Kompasianer

Hakim Aktif Tidak Tepat Diberi Tanda Jasa atau Sejenis, Ini Alasannya

Diperbarui: 18 November 2020   06:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi mahkamah konstitusi.(ANTARA FOTO/WAHYU PUTRO A)

Saya kira polemik mengenai penganugerahan Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan dari negara kepada sekian tokoh beberapa waktu yang lalu cuma soal ketidaklaziman momen, di mana diberikan terpisah dua kali di tahun ini, yaitu pada Kamis, 13 Agustus 2020 dan Rabu, 11 November 2020.

Penerima tahap pertama sebanyak 53 orang, sedangkan tahap kedua sejumlah 71 orang. Lazimnya, pemberiannya hanya satu kali, pada Agustus saja, menjelang perayaan HUT Kemerdekaan Republik Indonesia.

Namun demikian, pemerintah mengaku melakukan itu sebagai upaya untuk meminimalisasi terjadinya kerumunan di masa pandemi Covid-19. Itulah alasannya mengapa tahun ini menjadi berbeda dengan sebelum-sebelumnya.

Barangkali alasan pemerintah dapat diterima. Akan tetapi, ternyata ada persoalan baru lagi, yaitu pro dan kontra penganugerahan Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan kepada sejumlah hakim Mahkamah Konstitusi (MK). Pada November atau tahap kedua, sebanyak 6 (enam) hakim turut mendapat Bintang Mahaputera (Adipradana dan Utama).

Enam Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia mendapat anugerah Bintang Mahaputera dari negara melalui pemerintah, Rabu (11/11/2020) | KOMPAS.com via YouTube

Penerima Bintang Mahaputera Adipradana (Bintang Mahaputera Tingkat II) yaitu Arief Hidayat (Ketua MK RI 2015-2018 dan Hakim MK RI 2018-2023), Anwar Usman (Wakil Ketua MK RI 2015-2018 dan Ketua MK RI 2018-2021), dan Aswanto (Hakim MK RI 2019-2024 & Wakil Ketua MK RI 2018-2021).

Sementara penerima Bintang Mahaputera Utama (Bintang Mahaputera Tingkat III) yakni Wahiddudin Adams (Hakim MK RI 2014-2019 dan 2019-2024), Suhartoyo (Hakim MK RI 2015-2020 dan 2020-2025), dan Manahan Sitompul (Hakim MK RI 2015-2020 dan 2020-2025).

Menyaksikan pemberian Bintang Mahaputera kepada 6 (enam) hakim MK aktif tersebut, publik sontak berkomentar. Ada yang menganggap wajar, dan ada pula yang menilainya kurang wajar, bahkan tidak tepat.

Mewakili pemerintah sekaligus publik 'pro', untuk menjawab polemik, Kepala Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko mengatakan, tindakan pemerintah sudah berdasar dan sesuai aturan yang berlaku (UUD 1945, UU Nomor 20 Tahun 2009, dan PP Nomor 35 Tahun 2010).

"Apakah pemberian tanda kehormatan kepada para hakim MK itu tidak mengurangi independensi? Tidak. Karena di sini posisi presiden selaku kepala negara. Sekali lagi bahwa presiden selaku kepala negara memberikan itu karena menjalankan konstitusi. Ada konstitusinya, ada dasarnya," ujar Moeldoko di kantornya, Kamis (12/11/2020).

Lalu apa yang dipersoalkan kelompok 'kontra'? Ya, seperti yang dijawab duluan oleh Moeldoko, bahwa dengan diberi tanda jasa, independensi hakim MK menjadi dipertanyakan. Manakala kemudian para hakim bersikap tidak seperti yang dituduhkan, artinya tetap profesional, tetap saja anggapan buruk terarah kepada mereka.

Betapa tidak, beberapa hari setelah penganugerahan, sebagian pengamat (termasuk juga kalangan buruh yang berdemonstrasi menolak UU Cipta Kerja) mengaku "mencium" aroma politik. Istilah miripnya, "ada udang di balik batu".

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline