Keberadaan Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) sudah 2 (dua) bulan, terhitung sejak para presidium dan simpatisannya melakukan deklarasi pada 18 Agustus 2020 lalu. Meski belum lama, ternyata aksi organisasi yang disebut sebagai gerakan moral itu diketahui telah berjalan di berbagai wilayah di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa.
Aksi deklarasi lanjutan terus dilakukan demi mendapat perhatian masyarakat. Tentu tujuannya agar KAMI dikenal dan pada akhirnya semakin banyak orang yang tertarik bergabung. Semua orang berhak berkumpul dan berpendapat, karena dijamin oleh konstitusi, asalkan tidak melanggar aturan atau mengganggu ketertiban publik.
Apapun motivasi dan misi dari KAMI, biarlah hal itu menjadi kepentingan para pendiri dan anggota. Sekali lagi, sepanjang tidak menimbulkan ketidaknyamanan di masyarakat, semua dapat diimpikan. Namun pertanyaannya, apakah aksi KAMI sudah sesuai koridor aturan yang berlaku? Adakah mengganggu ketertiban masyarakat?
Tampaknya aksi yang turut "dinakhodai" oleh mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) TNI Gatot Nurmantyo itu sedikit mengganggu. Betapa tidak, aksi deklarasi dilakukan di tengah persoalan pandemi Covid-19. Di saat pemerintah gelisah dan masyarakat ketakutan bahaya pandemi, kumpulan KAMI malah aktif bergerilya ke daerah-daerah.
Aksi KAMI untuk sementara waktu tidak tepat. Pandemi sedang melanda, maka sebaiknya segala kegiatan yang menimbulkan kerumunan, apalagi meresahkan, mestinya ditiadakan. Gatot dan kawan-kawan wajib mengerti bahwa negara tengah "sakit", jadi tidak perlu lagi menambah penyakit lain.
Kegiatan deklarasi KAMI yang belum lama ini misalnya, yaitu di Karawang dan Surabaya, yang berujung pada pembubaran. Gatot dan para peserta diminta mengakhiri deklarasi dan meninggalkan acara. Wajib dipahami, tujuannya untuk meminimalisir paparan pandemi Covid-19 di masyarakat, bukan faktor "suka" atau "tidak suka".
Hal lain yang bisa dianggap "meresahkan" yakni, ternyata di balik deklarasi, KAMI juga giat mensosialisasikan "nonton bareng" film peristiwa Gerakan 30 September 1065/ Partai Komunis Indonesia (PKI). Mengapa meresahkan? Sebab jelas menimbulkan kerumunan. Mengenal nostalgia bangsa tidak harus bergerombol, bisa dilakukan sendiri di rumah masing-masing.
Berikutnya, kemarin, Rabu (30 September 2020), Gatot dan kawan-kawan dalam jumlah besar berziarah di Kompleks Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata, Jakarta Selatan. Ziarah dilakukan dalam rangka memperingati G30S/PKI. Akhir dari ziarah itu berakibat buruk, terjadi bentrokan antara kelompok peziarah dan massa pendemo. Satu kendaraan umum jenis mikrolet rusak.
Seakan mewakili pihak istana dan pemerintah, akhirnya mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) TNI Moeldoko mulai bersuara. Ia mengatakan, sampai saat ini pemerintah belum mau responsif melihat keberadaan KAMI dan aksi-aksinya. Kalkulasinya masih biasa saja dan belum perlu ditanggapi berlebihan.
Meski demikian, Moeldoko mengingatkan, manakala Gatot dan kawan-kawan mengganggu stabilitas politik, maka pasti akan ada risikonya karena negara juga punya kalkulasi. Menurutnya, pemerintah tidak anti-kritik, selama bersifat membangun dan disampaikan lewat cara-cara yang tepat dan benar, setiap warga negara berhak melakukannya.
"Jangan coba-coba mengganggu stabilitas politik. Kalau bentuknya sudah mengganggu stabilitas politik, semua ada risikonya. Kita tidak perlu menyikapi berlebihan sepanjang masih gagasan-gagasan. Sepanjang gagasan itu hanya bagian dari demokrasi, silakan. Kalkulasinya sekarang sih, masih biasa saja. Tidak ada yang perlu direspons terlebihan. Tetapi manakala itu sudah bersinggungan dengan stabilitas dan mengganggu, saya ingatkan kembali, negara punya kalkulasi. Untuk itu ada hitung-hitungannya," ujar Moeldoko, Kamis (1 Oktober 2020), seperti dilansir dari KOMPAS.com.