Terlebih dahulu saya mau menyampaikan bahwa, saya pribadi tidak mengenal Djoko Tjandra, seorang buron Kejaksaan Agung sejak 16 Juni 2009 atas kasus BLBI terkait hak tagih (cessie) Bank Bali pada 1998 senilai lebih dari Rp500 miliar.
Lebih lanjut, saya turut menegaskan pula, saya tidak dalam posisi membenarkan segala tindakan yang dilakukan Djoko Tjandra, di mana menurut keputusan hukum adalah salah. Jika hukum menyatakan salah, maka tetaplah salah.
Namun apabila memang terdapat tindakan Djoko Tjandra yang ternyata benar, maka saya pun berada di posisi mendukung. Siapa pun warga negara berhak mendapat perlakuan yang sama dan adil di hadapan hukum, tidak terkecuali Djoko Tjandra.
Saya tidak perlu mengulas mengapa Djoko Tjandra terseret kasus cessie Bank Bali, yang telah menghabiskan waktu selama 22 tahun (1998-2020). Ulasannya pasti panjang dan belum tentu lengkap. Sila baca di berbagai media tentang hal itu.
Setelah saya mencoba membaca dokumen tulisan di berbagai sumber terpercaya (deretan artikel terlampir di bagian bawah tulisan ini), saya sedikit berani mengatakan bahwa, sesungguhnya persoalan berkepanjangan dialami Djoko Tjandra akibat ketidakpastian hukum di negara Indonesia .
Jika ingin ditelusuri ke belakang, sebelum akhirnya Djoko Tjandra kembali tertangkap dan dikaitkan dengan penyalahgunaan "Surat Sakti" karena "red notice" terhadapnya telah dihapus, kasus cessie Bank Bali kelihatannya bisa selesai cepat dan tuntas.
Supaya tidak berbelit-belit, berikut ringkasan perjalanan kasus Djoko Tjandra:
Pertama, setelah kasus cessie Bank Bali diproses di kejaksaan dan dilimpahkan ke pengadilan, pada 6 Maret 2000, hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menyatakan dakwaan jaksa terhadap Djoko Tjandra tidak dapat diterima.
Kasus Djoko Tjandra disebutkan bukanlah kasus pidana, melainkan kasus perdata dan administrasi. Maka Djoko Tjandra pun dibebaskan dari status tahanan kota. Lalu jaksa mengajukan permohonan banding ke Pengadilan Tinggi.
Kedua, pada 28 Agustus 2000, majelis hakim Pengadilan Tinggi Jakarta lagi-lagi menegaskan Djoko Tjandra terbebas dari segala tuntutan hukum. Dan jaksa yang kala itu Antasari Azhar mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.
Ketiga, pada 21 September 2000, kembali lagi Mahkamah Agung melepaskan Djoko Tjandra dari segala tuntutan. Artinya sebanyak tiga kali proses sidang di tingkat berbeda, Djoko Tjandra tetap dinyatakan bebas dari tuntutan atau dakwaan.