Setelah membaca kabar tentang tuntutan vonis 1 tahun penjara oleh jaksa penuntut umum (JPU) kepada 2 terdakwa pelaku penyerangan (Rahmat Kadir Mahulette dan Ronny Bugis) penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan, saya turut menjadi salah seorang yang tidak puas menerimanya.
Saya tidak punya hubungan apa pun dengan Novel. Sebagai warga biasa yang masih mampu menggunakan logika, saya menilai penderitaan yang telah menimpanya (cacat mata kiri akibat siraman air keras) sejak 3 tahun silam (11 April 2017) kurang setimpal bila dibandingkan dengan sanksi yang diterima para pelaku. Saya yakin sebagian pihak tentu memiliki penilaian yang sama.
Bagaimana mungkin ganjaran hukuman bagi pelaku hanya 1 tahun, sementara Novel akan terus menjalani sisa masa hidupnya dalam kondisi cacat fisik? Baiklah misalnya Novel telah memaafkan para pelaku, namun mestinya negara (dalam hal ini penegak hukum) tidak ikut-ikutan "mengamini" hal demikian, bukan?
Mengapa saya agak keberatan dengan tuntutan vonis JPU? Sebab, di samping simpati melihat nasib Novel, saya berpendapat, sesungguhnya masih ada beberapa hal lain yang wajib dipertimbangkan oleh JPU untuk menjerat para pelaku lebih berat.
Pertimbangan karena pelaku mengaku tidak sengaja (menyerang mata), jujur mengakui kesalahan, dan menyesali perbuatan (jika memang benar adanya) tidak semestinya membuat JPU menunjukkan iba dan akhirnya 'mengobral' hukuman ringan.
Saya berharap kedua terdakwa betul pelaku penyerangan, karena mereka sendiri mengaku terbuka di depan pengadilan. Meskipun sampai sekarang Novel dan beberapa pihak lainnya (termasuk saya) masih menyimpan keraguan.
Sekali lagi, anggaplah kedua terdakwa adalah pelaku yang sesungguhnya. Maka di sini terdapat hal-hal lain yang harus dipertimbangkan JPU, seperti yang saya singgung di atas, antara lain:
Pertama, terdakwa penyerang Novel merupakan anggota aktif kepolisian, dari kesatuan Brimob. Bagaimana mungkin personil penegak hukum dan pengayom berani mencelakai masyarakat?
Di sini jangan lihat Novel selaku penyidik KPK, melainkan warga negara yang punya hak memperoleh jaminan keamanan dan keselamatan.
Bukankah seharusnya kedua pelaku layak dan pantas diberi sanksi yang cukup berat? Bagaimana kalau pelakunya warga biasa, apakah sanksi ringan bakal diperoleh juga?
Alih-alih dijatuhi hukuman berat, kedua pelaku justru masih selamat dari sanksi disiplin kesatuan, yang sejak tertangkap dan mengaku terbuka tetap dikawal untuk dibela hak-haknya secara berlebihan. Mereka tidak dipecat. Seandainya telah berstatus "mantan polisi", barangkali kenyataan yang mereka hadapi sekarang bisa berbeda.