Lihat ke Halaman Asli

Tuhombowo Wau

TERVERIFIKASI

Kompasianer

Pemilu 2019 Memakan Korban, Mungkin Ini Penyebabnya

Diperbarui: 24 April 2019   23:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar: kompas.com

Pesta demokrasi yang mestinya dinikmati ceria ternyata menyisakan konflik. Pesta demokrasi yang seharusnya dilalui bahagia pada akhirnya membuahkan duka.

Bagaimana tidak, hanya karena persoalan perbedaan pilihan politik, relasi antar individu maupun kelompok masyarakat menjadi renggang, enggan saling menyapa dan risih bersosialisasi. Semoga kondisi buruk ini dapat dijadikan sebagai bahan pembelajaran oleh seluruh pihak supaya hal serupa tidak terulang kelak. Semoga pula kedewasaan sikap dan perilaku masyarakat dalam berpolitik semakin baik.

Lalu bagaimana dengan sisi pilu lainnya, yakni bahwa dampak negatif lain dari perhelatan pesta demokrasi adalah jatuhnya korban jiwa, apakah cuma mau menunggu kapan saatnya kedewasaan berpolitik masyarakat muncul?

Tidak, perlu ada kebijakan terukur sesegera mungkin. Wajib diupayakan agar tidak boleh ada lagi korban meninggal dunia dan jatuh sakit sepanjang penyelenggaraan pesta demokrasi. Hal ini yang harus dipercepat untuk diantisipasi, sembari menemukan langkah tepat dalam meminimalisir dampak-dampak sejenis dan saling terkait.

Berdasarkan data, pada Pemilu 2019, setidaknya ada 119 orang meninggal dunia dan 548 orang sakit. Kebanyakan dari mereka merupakan para petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). Atas peristiwa musibah tersebut, berbagai pihak melayangkan rasa simpati dan ungkapan duka. Bahkan Presiden Joko Widodo turut pihatin dan atas nama negara beliau berjanji akan memberi santunan yang layak bagi keluarga para korban.

Tidak hanya itu, banyak kalangan juga mulai mengajukan kritik dan berharap ada evaluasi terhadap proses pelaksanaan Pemilu 2019, karena dilakukan secara serentak, menggabungkan Pilpres dan Pileg.

Di antara beragam kritik, satu hal yang diminta adalah ke depan, pada periode Pemilu berikutnya, proses serentak tidak dilakukan kembali. Frekuensi dan tekanan kerja yang begitu banyak dan lama dinilai sebagai penyebab jatuhnya korban meninggal dunia dan sakit. Para petugas KPPS terpaksa bekerja over time, hingga dua puluh empat jam di lapangan.

Kritik di atas cukup masuk akal. Ya, evaluasi besar-besaran harus dilakukan, termasuk merevisi UU Pemilu. Kebijakan untuk menggelontorkan dana ratusan triliun rupiah untuk Pemilu dengan proses terpisah pun tidak masalah, yang penting aspek kemanusiaan tetap dikedepankan. Jangan demi menghemat uang, faktor keselamatan jiwa dan kesehatan manusia diabaikan.

Namun betulkah langkah antisipatif di awal sulit dirancang tanpa melenceng dari aturan? Bukankah UU Pemilu yang ada semestinya bisa dijabarkan rinci agar dapat dioperasionalkan efektif menyasar pekerjaan sampai level bawah?

Menurut saya ada dua hal yang terlalaikan dalam implementasi UU Pemilu (UU Nomor 7 Tahun 2017) kali ini, yaitu turunan pasal yang menjabarkan jumlah dan syarat keanggotaan KPPS.

Pada pasal 59 ayat 1 disebutkan: "Anggota KPPS sebanyak 7 (tujuh) orang berasal dari anggota masyarakat di sekitar TPS yang memenuhi syarat berdasarkan Undang-Undang ini".

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline