Lihat ke Halaman Asli

Pembangunan dan Deforestasi Mengancam Kerusakan Lingkungan

Diperbarui: 7 Januari 2022   15:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: forestdigest.com

Pernyataan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar tentang deforestasi dan pembangunan menimbulkan kontroversi dari berbagai pihak. Dalam thread-nya di akun twitter @SitiNurbayaLHK pada Rabu 3 November 2021, Menteri Siti menyatakan: "Pembangunan besar-besaran era Presiden Jokowi tidak boleh berhenti atas nama emisi karbon atau atas nama deforestasi. Menghentikan pembangunan atas nama zero deforestation sama dengan melawan mandat UUD 1945 untuk values and goals establishment, membangun sasaran nasional untuk kesejahteraan rakyat secara sosial dan ekonomi."

Disitu ia sedang membicarakan FOLU Carbon Sink 2030 yang ia anggap disalahartikan sebagai zero deforestation. FOLU sendiri merupakan singkatan dari forest and other land uses atau pemanfaatan hutan dan penggunaan lahan yang menjadi salah satu sektor program mitigasi krisis iklim. FOLU Carbon Sink adalah keadaan dimana hutan menyerap lebih banyak karbon atau polusi daripada yang dihasilkan.

Pernyataan yang dilontarkan oleh Menteri Siti sangat keliru, seolah-olah demi pembangunan semua hal harus dikorbankan termasuk kondisi lingkungan dan hutan. Padahal tugas utama dari Menteri LHK adalah sebagai institusi yang menjadi penjaga dan pelindung lingkungan hidup dan kawasan hutan di Indonesia. Belum lagi pembangunan yang dilakukan tidak selalu tepat sasaran. Hanya pihak-pihak tertentu yang merasakan manfaatnya, sedangkan warga lokalnya sendiri tidak merasakan efek nyata dari pembangunan, yang ada malah lingkungan mereka terancam. Seperti halnya di Papua, pemerintah membangun Jalan Trans Papua dari Sorong hingga Merauke sepanjang ribuan kilometer dengan tujuan meningkatkan perekonomian dan mempermudah mobilitas masyarakat. Namun nyatanya, menurut penelitian LIPI, pembangunan jalan tersebut tidak memiliki dampak yang besar bagi masyarakat lokal Papua.

Memang pembangunan Trans Papua ini dapat membuka keterisolasian daerah, tapi dibalik itu terdapat ancaman yang muncul terhadap aspek sosial dan ekologis. Secara sosial, terdapat suku-suku yang tinggal disekitar ruas Jalan Trans Papua, seperti Suku Dani yang kehidupannya terganggu. Hal tersebut dikarenakan mereka mengandalkan kehidupannya terhadap alam sekitar. Kemudian secara ekologis atau lingkungan, pohon-pohon ditebang untuk melakukan pembukaan jalan. Tidak hanya itu ekosistem ataupun habitat binatang dan tumbuhan disana akan terancam rusak keberadaannya.

Proyek pembangunan Jalan Trans Papua hanya berdampak positif bagi pemilik perusahaan-perusahaan besar yang ada di Papua. Terdapat 39 perusahaan yang mendapat keuntungan dari adanya pembangunan ini, perusahaan-perusahaan tersebut telah beroperasi sejak 2001 sampai sekarang. Mereka membuka lahan kurang lebih seluas 73.000 hektar untuk kepentingan usaha, seperti perkebunan, pertambangan dan pembalakan. Beberapa waktu lalu juga NASA merilis gambar wilayah hutan Papua yang semakin gundul dari tahun ke tahun. Hal ini semakin menguatkan bahwa deforestasi di wilayah Papua benar-benar terjadi.

Organisasi lingkungan seperti Greenpeace Indonesia, Wahana Lingkungan Indonesia (Wahli), hingga anggota DPR pun turut mengkritisi pernyataan Menteri LHK tersebut. Mereka semua jelas tidak setuju dan mempertanyakannya. Pernyataan ini menunjukan secara jelas kemana arah keberpihakan Menteri Siti Nurbaya, yaitu lebih memihak terhadap berlangsungnya proyek pembangunan. Sementara itu, sehari sebelumnya Presiden Jokowi berkomitmen untuk menyetujui hasil Conference of the Parties (COP) 26 Glasgow yang berisi tentang program mitigasi perubahan iklim dan deforestasi. Hal ini sangat membingungkan karena bertentangan dengan pernyataan Menteri LHK sendiri. COP 26 memiliki empat langkah utama dalam upaya untuk mitigasi perubahan iklim, yaitu mengurangi emisi, beradaptasi terhadap efek dari perubahan iklim, mendanai program untuk mitigasi iklim, dan melakukan kerja sama antar negara untuk menangani krisis iklim.

Persetujuan ini dilakukan untuk mencegah terjadinya pemanasan global atau kenaikan suhu bumi lebih dari 1,5 derajat celcius. Dikarenakan, jika suhu bumi berada diatas itu, maka akan terjadi krisis iklim yang dapat menimbulkan bencana. Pemanasan global sendiri tejadi karena banyaknya emisi karbon yang dihasilkan daripada penyerapan karbon yang dilakukan oleh tumbuhan atau hutan. Sehingga emisi karbon ini semakin menumpuk di atmosfer. Gas-gas yang menumpuk ini akan mengurangi ozon dan kemampuan atmosfer untuk menyerap emisi dan menyaring sinar matahari. Hal ini yang menyebabkan efek rumah kaca, dimana emisi karbon terperangkap dalam bumi dan panas matahari tidak dapat tersaring, bahkan memantulkan panasnya kembali ke bumi.

Penggunaan kendaraan yang menimbulkan polusi, pendingin ruangan, mengonsumsi produk hewani dan deforestasi merupakan aktivitas yang membuat bertambahnya emisi karbon. Deforestasi sendiri sudah menyumbangkan 24% emisi global saat ini. Karena ketika pohon ditebang atau dibakar, karbon yang ada di dalamnya akan menguap menjadi gas rumah kaca. Jika kita tarik lebih mundur lagi, jumlah emisi yang melonjak dratis dalam tiga abad terakhir dipicu oleh Revolusi Industri di Eropa yang terjadi antara tahun 1750-1850 dimana terjadi perubahan besar-besaran di bidang pertanian, transportasi dan teknologi karena manusia menemukan mesin uap dan batu bara sebagai bahan bakar.

Maka dari itu, jika Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar ingin mendukung percepatan pembangunan tanpa memperhatikan lingkungan dan hutan, ini sangat mengecewakan masyarakat dan organisasi-organisasi pegiat lingkungan. Belum lagi hal tersebut bertentangan dengan komitmen Presiden terhadap COP 26 Glasgow untuk mitigasi perubahan iklim dan mengakhiri deforestasi.

Kita perlu meluruskan konsep dari pembangunan ini. Pembangunan seharusnya dilakukan secara seimbang agar kualitas sumber daya manusia meningkat dan juga melindungi lingkunganya. Hal ini perlu dilakukan demi kelangsungan hidup generasi selanjutnya. Apa gunanya pembangunan jika lingkungan sekitarnya rusak dan mengalami krisis iklim?




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline