Jelang akhir tahun 2024, Jembatan penghubung antara Masjid Istiqlal dengan Gereja Katedral di Jakarta diresmikan presiden. Jembatan antara dua rumah ibadah itu, berada dibawah tanah, sehingga jembatan itu dijuluki sebagai "terowongan silatuhrahi." Tak sekedar infrastruktur, jembatan itu, dimaknai orang banyak sebagai simbol toleransi antar umat beragama di Indonesia.
Merujuk istilah toleransi, pemikir Abdurrahman Wahid, sosok cendikiawan muslim yang akrab disapa Gus Dur mengemukakan bahwa toleransi adalah sikap yang harus diutamakan dalam menghadapi pluralitas masyarakat yang beragam. Toleransi harus menciptakan kehidupan bangsa yang damai, setara, dan berkeadilan yang ditujukan kepada seluruh umat manusia. Salah satu aspek yang paling dipahami dari Gus Dur adalah aktif menolak sikap intoleransi terhadap perbedaan agama, sekaligus dalam kehidupan kesehariannya dia adalah pembela kelompok minoritas. Dengan kata lain, Gus Dur sebagai figura yang memperjuangkan diterimanya kenyataan bahwa Indonesia lahir sebagai bangsa yang beragam.
Cara pandang Gus Dus tentang pluralisme dan toleransi, menurut penulis bukan tanpa kritik. Banyak kalangan menilai buah pikir Gus Dur kontra produktif, bahkan hujatan dan tudingan, yang menyebut pemahaman Gus Dur sesat. Padahal, Pluralisme dan toleransi yang diusung Gus Dur, penulis pahami bukanlah suatu pandangan yang bermaksud ingin menyamakan semua agama. Dalam perspektif pemikiran Gus Dus, setiap agama tentu memiliki perbedaan dan keunikan masing-masing. Teori kritis menuntun penulis untuk mempertanyakan: Apakah gagasan pluralisme dan toleransi Gus Dur itu bersifat inklusif ? Atau justru memarginalkan golongan tertentu?
Pluralisme sebagai kenyataan dan kekayaan
Eksistensi kemajemukan bangsa Indonesia, menurut penulis adalah sebuah realita. Tak ada satupun yang berusaha menolak bahwa lahirnya bangsa Indonesia sebagai bangsa yang heterogen. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar didunia, dengan 17 ribu pulau yang ada di wilayahnya, baik yang sudah dihuni maupun belum. Sekitar 400 kelompok etnis dan bahasa yang ada di bawah naungannya, Indonesia juga adalah sebuah negara dengan kebudayaan sangat beragam termasuk agamanya.
Islam ditakdirkan sebagai agama mayoritas dari semua agama yang berkembang di Indonesia. Jika penulis pahami, kemajemukan bangsa Indonesia merupakan sunnatulah sebagaimana kemajemukan yang ada dimuka bumi ini. Semua penduduk yang mendiami bumi Indonesia, sejatinya senang menerima kenyataan bahwa Indonesia merupakan bangsa yang multi etnik, multi budaya, dan multi agama, yang juga harus dinilai sebagai sebuah kekayaan.
Gagasan Rumah Kita: Kembangkan Ajaran yang Inkusif
Belum hilang ingatan kita, ketika Gus Dur mencabut Instruksi Presiden (Inpres) nomor 14 tahun 1967 tentang agama dan adat istiadat Tionghoa. Implikasi dicabutnya inpres itu, membuka pintu keterbukaan atas segenap etnis Tionghoa di tanah air. Kini etnis Tionghoa bebas untuk merayakan tahun baru Imlek bahkan kebijakan disusul Megawati Soekarnoputri menjadikan tahun baru Imlek sebagai hari libur nasional.
Kerangka berpikir dicabutnya inpres itu, tak lain Gagasan Gus Dur tentang Rumah kita. Gus Dur menganalogikan konsep pluralisme ibarat sebuah rumah besar yang terdiri atas banyak kamar. Setiap orang memiliki kamarnya sendiri-sendiri. Saat di dalam kamar, setiap orang dapat merawat dan menggunakan kamarnya serta berhak melakukan apapun di dalam kamarnya. Namun ketika berada di ruang tamu atau ruang keluarga, maka setiap penghuni kamar wajib melebur untuk menjaga kepentingan rumah bersama. Semua penghuni kamar wajib bekerjasama merawat, menjaga, dan melindungi keseluruhan bagian rumah tersebut. Ketika ada bahaya yang mengancam, atau terjadi serangan dari luar, maka mereka tanpa mempermasalahkan asal kamar harus bersatu mengantisipasi datangnya bahaya itu atau melawan para penyerang yang ingin merusak keberadaan rumah kita.
Prinsip Humanis: Kerangka Membela Kaum Minoritas
Umat Islam sebagai mayoritas harus memahami substansi dari makna "Islam Rahmatan Lil'alamin", dimana kehadiran Islam ditengah kehidupan masyarakat yang majemuk harus mampu mewujudkan kedamaian dan kasih sayang bagi manusia maupun alam. Sebagaimana pandangan Gus Dus, yang menyebutkan sebagai umat mayoritas harus mengakui hak-hak minoritas untuk mendapatkan perlindungan. Bukan sebaliknya, umat mayoritas tidak memberikan perlindungan bahkan melakukan penindasan terhadap umat minoritas.