Lihat ke Halaman Asli

“Please...Bu, Minta Adik ke Ayah!”

Diperbarui: 17 Juni 2015   06:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pagi ini cerah. Tak mendung seperti kemarin. Embun pagi masih menetes. Dedaunan November makin menghijau, membuat mata ikut bertunas segar. Tapi tak seperti hati Resty. Sejak dua puluh menit yang lalu, matanya hanya bisa melotot. Menatap jauh seakan membuka horizon baru. Tapi ternyata hati penuh tanya. Asanya layu. Hasratnya pun tak karuan.

“Akankah aku selamanya sendirian?” Itulah pertanyaan yang menemani Resty pagi ini.

Itu aneh, tapi nyata. Ayahnya seorang pengusaha. Ibunya seorang aktivis internasional. Keduanya punya nama. Bukan baru saat ini. Sejak mereka masih pacaran, banyak orang telah mengenal mereka. Popularitas mereka tak tertandingi. Segalanya ada di rumah mereka, menghias dinding dan halamannya bagai surga dunia. Tak ada yang kurang. Makanan tersedia. Minuman terjamin. Hasrat pun selalu terpenuhi.

Semua orang iri pada mereka. Berharap punya bagian dalam hidup mereka. Banyak gadis belia menggoda Dimas, ayah Resty. Berharap Dimas buka lebar pintu hati. Atau kalau boleh, cukup dengan membiarkan kisi-kisi relung jiwanya diresapi hasrat para dara. Ingin rasanya turut mengecap hidup Dimas. Demikian impian dan pinta pasukan dara manis di kotanya.

Tapi Resty tak pernah bangga dengan ketenaran Ayahnya. Apalagi ibunya yang selalu pulang-pergi luar negeri. Resty kadang mengutuk diri punya orang tua seperti mereka. Punya segalanya, tapi tak pernah membuat Resty bahagia.

Sejak dulu tak ada bahagia dalam hidup Resty. Kini pun tak ada. Bahkan pagi ini bahagia hampir terhapus dari kamus hidupnya. Hanya sudut bisu yang menjadi teman tatapannya.

Mata Resty masih fokus, tapi kosong. Ia masih dalam khalayan. Berharap sepi tak mengawali pagi cerah ini. Mendamba galau tak merebut indahnya hari. Tapi Resty tak kuasa menahan semua ini. Ia terpaksa ada di sana. Menatap jauh penuh rindu. Tapi tatapan itu hanya berisi hampa. Ia bagai terlempar dalam sunyi di tengah hingar bingar kota. Serasa hidup mencekam penuh duka.

“Akankah aku selamanya sendirian?” Masih pertanyaan ini yang menemaninya hingga detik ini. Ia ingin berlari, berharap pertanyaan ini tak mengikuti. Ia ingin berpindah tempat, menghasrat tanya ini tinggal jejak.

Tapi apa hendak dikata. Pertanyaan itu terus membuntut. Bahkan terus membalut langkah. Lalu makin bergelora ingin mengempasnya ke dasar bumi. Dan Resty memang tak kuasa menghalanginya.

“Mungkin inilah pergulatan eksistensial,” gumam Resty mencoba memberi nama pada apa yang sedang ia alami. Bisa jadi YA, tetapi bisa juga TIDAK. Tapi bagaimana ia bisa memilih salah satu? Ia di tengah empasan tsunami samudera raya.

Bola matanya menatap lurus. Di sudut sana arah tembakan tatapannya. Padahal sudut itu, sudut bisu. Tapi itulah yang terjadi. Sudut bisulah sasaran bola mata berkelopak tipis itu.

Tiba-tiba Mira, ibunya, muncul dari sudut itu. Bagai arwah gentayangan, Ia bergerak mendekati Resty, putri tunggalnya.

“Ibu, ibu sayang Resty gak?” tanya menyambar Mira mengganti salam putrinya pagi ini.

“Iya, sayang..., mama sayang Resty...!”

“Buktinya mana, Bu? Ibu dan Ayah tega membiarkan Resty selamanya hidup sendirian. Ibu dan Ayah egois...!”

“Kamu kenapa, sayang?” tanya Mira cemas.

“Ibu, setiap hari aku selalu sendirian. Apa ibu tega melihat aku terus seperti ini. Bu, please....! Kasih aku adik, Bu...!”

“Sayang, ibu mau kamu punya adik, tapi Ayah kamu gak mau...!”

“Pokoknya aku gak mau tau...!”

“Tapi bagaimana caranya, sayang?”

“Minta adik ke Ayah, Bu...! Please....!

Mira hanya bisa diam. Permintaan Resty membuat bibirnya terkatup rapat. Resty tak biasa meminta apa pun. Karena memang segalanya tersedia di rumah mereka. Tapi hanya satu yang kurang. Dan inilah yang sangat didambakan Resty.

Resty ingin punya seorang adik. Berharap punya teman di rumah. Bukan hanya sebatas teman. Ia inginkan seorang saudara kandung. Dan itulah permintaan Resty. Dan inilah permintaan pertama Resty sejak Ayah dan Ibunya selalu pergi pagi-pagi buta, pulang larut malam.

Yogyakarta, 29 Mei 2015



Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline