Oleh:
Tubagus Hidayat dan Dr. Ira Alia Maerani, S.H., M.H. (Mahasiswa dan Dosen Fakultas Hukum Unissula)
Masalah lingkungan bukan hanya masalah nasional, tetapi juga masalah global. Hal ini karena konteks lingkungan antara sumber atau sebab dan akibat yang dihasilkan tidak dapat dilokalisasi dengan batasan yang jelas. Perkembangan kehidupan modern khususnya industrialisasi kehutanan dalam menghadapi globalisasi dan proses industrialisasi dan modernisasi berdampak besar terhadap kelestarian hutan sebagai mata pencaharian dan penghidupan organisme dunia. Hutan merupakan sumber daya yang sangat penting tidak hanya sebagai sumber kayu, tetapi juga sebagai bagian dari lingkungan. Hal ini menjadikan hutan Indonesia sebagai salah satu pusat keanekaragaman hayati dunia, menempatkan Indonesia pada urutan ketiga dari tujuh negara yang ditetapkan sebagai negara mega-diversity.
Penebangan hutan Indonesia yang tidak diatur selama beberapa dekade telah menyebabkan hilangnya hutan hujan secara besar-besaran. Laju deforestasi adalah 1,6 juta hektar per tahun dari 1985 hingga 1997 dan 3,8 juta hektar per tahun dari 1997 hingga 2000. Hal ini menjadikan Indonesia sebagai salah satu tempat terdeforestasi di dunia. Berdasarkan hasil penilaian citra Landsat tahun 2000, Indonesia memiliki 101,73 juta hektar hutan dan lahan kritis, dimana 59,62 juta hektar di antaranya merupakan kawasan hutan. Dampak kerugian ekonomi yang ditanggung negara dapat dilihat dalam studi David W. Brown, ekonom kehutanan di Department for International Development (DFID). Dengan nilai perdagangan tahunan sebesar $1,632 miliar, kerugian tahunan dari pembalakan liar di Indonesia mencapai $5,7 miliar. Angka ini dihitung dengan mengalikan 68 juta meter kubik kayu yang dikonsumsi secara ilegal untuk diproses oleh pabrik penggergajian domestik dengan US$4,08 miliar pajak yang harus dibayar per meter kubik kayu sebesar US$24.
Kerusakan hutan menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 yang menjelaskan pasal 50(2) Istilah "kerusakan hutan" yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang kehutanan digunakan untuk menunjukkan bahwa kerusakan hutan memiliki arti ganda. memiliki Penggundulan hutan yang berdampak positif dan mendapat sanksi dari pemerintah tidak tergolong illegal.
Kedua, bahaya yang berdampak negatif (merugikan) adalah perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang atau kebijakan, atau perbuatan yang sungguh-sungguh tanpa persetujuan pemerintah dalam bentuk izin. Walaupun kata-kata definisi kejahatan illegal logging tidak disebutkan secara eksplisit dalam Pasal-pasal UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, namun illegal logging dapat diidentifikasikan sebagai segala perbuatan atau perbuatan yang mengarah pada perusakan hutan. Kami akan mengkonfirmasi sesuai dengan Pasal 50 Ayat 2 UU. Nomor 1999 41. Deforestasi berdasarkan UU No. 41 Tahun 1999 berdasarkan Pasal 50 Ayat 2. Tindak pidana pembalakan liar menurut Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999 diatur dalam Pasal 50 dan ketentuan pidana diatur dalam Pasal 78. Deforestasi adalah akar dari pembalakan liar.
Menurut Mahpaun, dari perspektif hukum pidana, sanksi pidana berat terhadap hutan jarang diatur dalam peraturan pemerintah, dan tindak pidana dan sanksi umumnya dirumuskan dalam undang-undang, sedangkan kejahatan terhadap hutan jarang diatur dalam peraturan pemerintah, sehingga menimbulkan kerancuan. di PP. 28 Tahun 1995 tentang Konservasi Hutan. Ketentuan sanksi pidana berdasarkan PP No. 28 Tahun 1995 sebenarnya merupakan rincian Pasal 19 (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan, yang menyatakan: . Oleh karena itu, dalam menetapkan PP Nomor 28 Tahun 1985 sebagai dasar hukum penerapannya harus selalu dikaitkan dengan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967. Namun, berlakunya UU No. 41 Tahun 1999 memungkinkan kerancuan itu bisa diatasi.
Tindak pidana terhadap kehutanan adalah tindak pidana khusus yang diatur dengan ketentuan pidana. Ada dua kriteria yang dapat menunjukan hukum pidana khusus itu, yaitu pertama, orang-orangnya atau subjeknya yang khusus, dan kedua perbuatannya yang khusus (bijzonder lijk feiten). Hukum pidana khusus yang subjeknya khusus maksudnya adalah subjek atau pelakunya yang khusus seperti hukum pidana militer yang hanya untuk golongan militer.
Dan kedua hukum pidana yang perbuatannya yang khusus maksudnya adalah perbuatan pidana yang dilakukan khusus dalam bidang tertentu seperti hukum fiskal yang hanya untuk delik-delik fiskal. Kejahatan illegal logging merupakan tindak pidana khusus yang dalam kategori hukum pidana yang perbuatannya khusus, yaitu untuk delik-delik kehutanan yang menyangkut pengelolaan hasil hutan kayu. Pada dasarnya kejahatan illegal logging, secara umum kaitannya dengan unsur-unsur tindak pidana umum dalam KUHP.
Penegak hukum di bidang illegal logging belum terselesaikan dengan baik karena muncul beberapa permasalahan seperti:
- Peraturan dan kebijakan yang ada tidak dapat menyelesaikan permasalahan ksususnya kejahatan lingkungan.
- UU No.23 Tahun 1997 jo UU No.32 Tahun 2009 tidak dapat menjadi instrumen yang efektif untuk melindungi lingkungan
- Sementara perkembangan teknologi diikuti perkembangan kualitas dan kuantitas kejahatan yang semakin canggih dan seringkali menimbulkan dampak internasional ,regional dan nasional.
Dilihat dari kebijakan pidana aparat penegak hukum di bidang illegal logging, belum mampu diselesaikan dikarenakan:
- Proyek dan program pembangunan yang direncanakan dan dilaksanakan di tingkat lokal, regional dan nasional mengabaikan/tidak mempertimbangkan faktor lingkungan.
- Tidak didasarkan pada penelitian atau prediksi yang akurat tentang perkembangan atau tren kriminal saat ini atau di masa depan.
- Tidak ada penelitian tentang dampak dan konsekuensi sosial, serta pembuatan kebijakan dan investasi,
- Tidak ada studi kelayakan tentang kemungkinan konsekuensi dari faktor sosial dan bahan baku kriminal, dan tidak ada strategi alternatif untuk menghindarinya