Saat mata merem-melek keenakan merasakan pijatan tangan mak Ijah, tiba-tiba mulut pemijat mengeluarkan suara mirip orang mau muntah atau masuk angin. Saya membaca gelagat tidak enak atas perilaku pemijat, suara seperti ini sering saya lihat sebagai gelagat orang yang akan kesurupan atau seseorang yang kasat mata meminjam raga seseorang.
Dalam ketakutan saya hanya bisa terdiam dan memilih menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Tiba-tiba terdengar suara nenek-nenek aneh yang meminta diberi rokok kretek merah yang biasa diisap kakek-kakek. Saya bingung karena tak memilikinya, namun dengan dialog pelan saya menawarkan rokok yang ada di saku saya dan iapun menerimanya walau dengan logat yang marah. Mak Ijah yang bukan perokok tiba-tiba terlihat asik menikmatinya dengan dalam.
Saat saya mencoba hendak beranjak, tangannya dengan keras menahan saya untuk tetap duduk dan melanjutkan pijatannya. Plak... tangannya tiba-tiba menampar muka saya dari arah belakang dengan kerasnya sambil tangan yang yang satunya tetap menahan saya dengan kuat agar tetap duduk.
Entah mimpi apa semalam, mendapatkan tamparan dari pemijat langganan keluarga ini. Mulutnya mengeluarkan suara amarah mirip ibu-ibu memarahi anaknya yang susah dinasehati.
"Hirup mah kudu loba lampah Encep, ulah loba langkah tapi teu aya lampah/Hidup itu harus memiliki makna Encep, jangan hanya melangkah namun tanpa makna": suara nenek-nenek mulai melembut dari mulut mak Ijah. Saya hanya bisa menjawab: "Iya nek....!", sambil tetap menahan diri agar tak membuat nenek memarahi seperti sebelumnya.
Dari mulut mak Ijah mulai keluar petuah-petuah tentang pentingnya memiliki makna dalam setiap langkah aktifitas kehidupan. Berapa banyak waktu di dunia yang akhirnya akan sia-sia namun tak memiliki makna buat diri sendiri, keluarga dan lingkungannya.
Sang nenek mulai mempertanyakan usia saya serta berapa banyak kebaikan yang telah dibuat. Saya hanya diam dan terpekur mendengar pertanyaannya yang tampak lebih meminta perenungan dibanding sebuah jawaban dari mulut saya.
"Hidup di dunia hanyalah singgahan Encep, apa jadinya bila tak memiliki makna apalagi manfaat untuk diri serta orang banyak": sambungnya sambil matanya tajam menatap saya.
"Kalau kamu Encep tak memiliki kebaikan di dunia, lalu apa bekalmu menghadap Tuhanmu": Ulangnya dengan tegas sambil terus menatap saya dengan tajam.
Tamparan yang keras tadi sungguh tidak menyakitkan sedikitpun, namun pertanyaan-pertanyaan yang sang nenek lontarkan sungguh terasa menyakitkan sanubari keakuan saya.
******