Oleh Tuanku Muksalmina
Hari Aksara Internasional (HAI) yang diperingati setiap tanggal 8 September memiliki pesan penting akan pengentasan terhadap angka buta huruf yang dialami oleh sebagian penduduk di seluruh dunia.
Namun di sisi lain juga bertujuan untuk menyoroti seberapa banyak keaksaraan yang masih tersisa. Hal ini tidak terlepas dari punahnya aksara tertentu pada masa kini, maupun yang telah menyusut penggunaannya dalam masyarakat. Walau masyarakat tersebut masih eksis sampai saat ini. Semisal Aceh dan Turki.
Sebagaimana diketahui bahwa Turki sebelum menjadi republik (1923) atau tepatnya masa Ottoman, menggunakan huruf Arab gundul dalam penulisannya. Penggunaan huruf Latin baru, berlangsung semenjak nasionalisasi oleh kaum Turki Muda yang dipimpin Mustafa Kemal, yang digelari Ataturk (bapak Bangsa Turki).
Segala hal yang berkaitan dengan Imperium Ottoman yang pernah sangat digdaya pada masanya, dihapuskan dan diganti dengan yang digunakan orang barat atau Eropa, yang dianggap sebagai simbol kemajuan peradaban. Unsur-unsur Arab-Persia dilikuidasi. Dianggap kemunduran dan ketertinggalan. Tak terkecuali kumandang azan pun sejak 1932 ikut "di-modern-kan" dengan bahasa Turki.
Hanya bacaan salat yang gagal. Azan, salah satu hal yang paling sakral dan sudah incraht dalam Islam ini baru berangsur "pulih" kembali setelah tahun 1950an (Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat: dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekular-Liberal, 2005, hal. 273)
Setelah masa Ottoman berakhir, hanya huruf Latin yang dikenal dan digunakan dalam penulisan resmi di Turki hingga hari ini. Sekulerisme Turki saat ini memang tak setajam dulu. Kendati demikian, huruf Arab sudah menjadi sejarah. Atau cukup menjadi konsumsi para sejarawan dan para peminat sejarah.
Seperti Turki, Aceh pun demikian. Jika di Turki huruf Arab diganti karena ada proses "pemaksaan" atas nama "nasionalisasi". Di Aceh pergantian berlangsung secara "natural".
Proses penggiringan alamiah dan perlahan-lahan ini juga ada kontribusi dari antropolog kenamaan Belanda , yang berseragam militer dan sering menyamar dalam jubah Islam, Christiaan Snouck Hurgronje. Ia menulis bahasa Aceh yang dipelajari kata-per-kata dalam huruf Latin. Yang menjadi acuan para penulis bahasa Aceh di kemudian hari. Snouck sebenarnya tahu bahasa Aceh masa itu ditulis dalam aksara Arab Jawi. Tapi dia memilih untuk me-latin-kannya.
Harus diakui memang ada sisi positif apa yang dilakukan oleh Snouck. Karena banyak kosakata yang ditulisnya masa itu telah jarang ditemukan dalam pengucapan masyarakat Aceh sekarang. Sehingga hanya dapat ditemukan dalam literatur yang ia tulis. Tetapi propaganda Snouck memang jitu. Tingkat keberhasilannya tinggi.