Seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi informasi dan transaksi digital, tindak pidana pencurian identitas telah menjadi salah satu kejahatan yang semakin marak terjadi. Pencurian identitas dalam transaksi digital adalah tindakan di mana seseorang secara tidak sah mengakses, menggunakan, atau mengambil alih informasi pribadi orang lain untuk tujuan ilegal, seperti melakukan penipuan, transaksi palsu, atau merugikan pihak yang bersangkutan. Dalam artikel ini, akan dikaji pengaturan hukum pidana di Indonesia dan negara lain terkait kejahatan identitas, perlindungan hukum bagi korban, serta penerapan hukum terhadap pelaku.
1. Pengaturan Hukum Pidana terhadap Tindak Pidana Pencurian Identitas dalam Transaksi Digital
a. Pengaturan Hukum di Indonesia
Di Indonesia, pencurian identitas dalam transaksi digital diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan, terutama dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). KUHP memuat ketentuan umum mengenai pencurian dan penipuan, sementara UU ITE memberikan kerangka hukum yang lebih spesifik terhadap kejahatan yang melibatkan teknologi informasi.
- Dalam KUHP, pencurian identitas dapat dikategorikan sebagai kejahatan penipuan atau pencurian data. Pasal-pasal yang dapat dijadikan dasar hukum untuk menjerat pelaku pencurian identitas meliputi Pasal 362 (pencurian) dan Pasal 378 (penipuan). Namun, ketentuan ini belum secara spesifik mengatur pencurian identitas di dunia digital.
- Undang-Undang N0 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik memberikan perlindungan khusus terhadap kejahatan di dunia maya, termasuk pencurian identitas. Pasal 30 UU ITE mengatur tentang akses ilegal terhadap sistem elektronik. Pelaku yang mengakses sistem informasi tanpa izin dapat dijatuhi hukuman pidana dengan ancaman maksimal 6 tahun penjara atau denda maksimal Rp600 juta. Selain itu, Pasal 35 UU ITE juga mengatur tentang manipulasi data elektronik untuk keuntungan pribadi yang dapat dikenakan pidana maksimal 12 tahun penjara atau denda maksimal Rp12 miliar.
b. Perbandingan dengan Hukum Pidana di Negara Lain
Negara-negara lain juga memiliki ketentuan yang tegas terhadap pencurian identitas dalam transaksi digital. Contohnya:
- Di Amerika Serikat, pencurian identitas merupakan tindak pidana berat yang diatur dalam Identity Theft and Assumption Deterrence Act. Pelaku pencurian identitas dapat dihukum hingga 15 tahun penjara, dikenai denda, serta wajib mengganti kerugian korban.
- Di Uni Eropa, pencurian identitas dalam transaksi digital diatur dalam General Data Protection Regulation (GDPR). GDPR memberikan sanksi kepada pelaku yang terlibat dalam pencurian atau penyalahgunaan data pribadi, termasuk denda yang bisa mencapai 4% dari pendapatan tahunan global perusahaan atau €20 juta, tergantung mana yang lebih besar.
Perbandingan ini menunjukkan bahwa meskipun Indonesia sudah memiliki peraturan mengenai pencurian identitas, sanksi di beberapa negara lain, seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa, cenderung lebih berat dan lebih terstruktur.
2. Perlindungan Hukum bagi Korban Pencurian Identitas dalam Transaksi Digital
a. Peran Hukum Pidana dalam Melindungi Korban
Perlindungan terhadap korban pencurian identitas merupakan salah satu fokus hukum pidana di Indonesia. Hukum pidana berperan penting dalam memberikan jaminan keadilan bagi korban yang dirugikan akibat tindakan pencurian identitas. Melalui proses hukum pidana, korban dapat menuntut pelaku dan meminta pemulihan atas kerugian yang diderita. Selain itu, UU ITE juga memberikan peluang bagi korban untuk menuntut pelaku secara perdata. Misalnya, jika korban kehilangan sejumlah uang akibat transaksi palsu yang dilakukan pelaku, korban dapat menuntut ganti rugi.