Lihat ke Halaman Asli

dunia versi kini

Diperbarui: 24 Juni 2015   14:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

oranye fajar
Mengantarkan palung nyawa yg baru terkumpul
Lalu lalang hilir mudik
Bergegas tergesa mencari dana
Penyumbang utama kehidupan
Diantara gedung tinggi
Dengan marak sorai bising
Besi , rantai , beradu gerak

Tandus..

Yang terlihat
Ketika mentari mulai sepenggalan kepala
Fatamorgana , dispersi warna
Merah , kuning , hijau , biru , bla..bla..bla

Dengan kepulan asap kontaminasi
Monoksida , dioksida , bahkan toxin
Merembet meracuni tiap jengkal rongga tubuh..

Begitu kata mereka,
Kata manusia yang muncul di beberapa tayangan televisi..
Sedang kami ,
Sedikit , ah tidak..
Banyak yang tidak kami ketahui..
Yang ada , cuma tahu
Hutan kami bukan lagi hijau
Tak terdengar lagi ricuhnya
Jangkrik , kumbang , dan binatang malam..

Bahkan kunang kunang , tak dapat izin lagi menyalakan lentera yang ia tanggung..
Kerbau ,,
Ada palang yang menjarakinya dari rumput , makanan utamanya..
Ketika sungai berhenti mengalir
Karena desakan alam yang kian memanas..
Lapis lapis pelindung bumi
Kini berlubang , kian membesar

Bumi kami tak lagi bersahabat..
Dengan pohon yang terus ditebang
Udara kami tak lagi sehat..

Mati

(sajak di acara Manusia dan Alam, saung tinta @Sukabumi)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline